![]() |
Buku ini bisa meringankan beban penulisnya |
Oleh; Teguh Wahyu
Utomo
Judul di atas itu betul. Nggak percaya? Ada bukti ilmiahnya dan
bukti nyatanya.
Elizabeth Broadbent, profesor ilmu kedokteran di University
of Auckland, Selandia Baru, melaporkan hasil penelitiannya di jurnal Psychosomatic Medicine edisi Juli 2013. Ia
menggambarkan manfaat menulis ekspresif bagi pemercepatan kesembuhan luka. Menurut
hasil penelitiannya, pemulihan luka biopsi medis lebih cepat terhadap 49 orang
dewasa sehat.
Dalam penelitian, para peserta eksperimen menuliskan pikiran
dan perasaan mereka selama 20 menit tiga hari berturut-turut selama dua minggu
sebelum biopsi. Sebelas hari kemudian, 76% dari mereka menuliskan lukanya sudah
pulih sepenuhnya. Angka ini jauh lebih baik dibanding 78% dari kelompok
pengendali yang mengaku lukanya belum pulih. Studi menyimpulkan, menulis
tentang peristiwa-peristiwa stress bisa membantu peserta menalar secara logis
peristiwa itu sehingga bisa mengurangi stressnya.
Betapa besar manfaat menulis refleksif bagi kesehatan fisik
dan psikologis ini dirasakan betul Profesor Bacharuddin Jusuf Habibie. Ya,
mantan Presiden Indonesia ini pernah mengalami masa-masa buruk. Hasri Ainun
Besari, wanita yang dinikahi Habibie pada 12 Mei 1962, akhirnya meninggal di
Munchen, Jerman, pada 22 Mei 2010. Ditinggalkan wanita belahan hidup ini
membuat kehidupan Habibie limbung, depresi berat, hingga nyaris gila. Bahkan, jika
tidak ada tindakan besar, bisa jadi Habibie menyusul kekasih hatinya.
Dalam wawancara dengan Tempo,
terungkap bahwa yang membuatnya syok Habibie adalah ia baru mengetahui Ainun
menderita kanker ovarium hanya dua bulan sebelum istrinya meninggal. Maka, beberapa
waktu setelah kematian, Habibie masih seperti orang gila. Misalnya, suatu hari,
pukul 02.30 dini hari, dengan pakaian tidur, Habibie berjalan kaki di
sekeliling rumahnya sambil menangis seperti anak kecil mencari ibunya.
Orang-orang sekitarnya pun khawatir. Maka, dipanggillah
dokter langganan keluarga Habibie untuk konsultasi. Pemeriksaan dokter menyatakan
Habibie menderita psychosomatic malignant
(keadaan yang semakin memburuk akibat masalah-masalah psikologis). Hubungan
Habibie-Ainun terlalu dekat sehingga perpisahan itu sangat menyakitkan secara psikis.
Habibie tenggelam dalam kesedihan luar biasa.
Dokter pun memberi empat saran. Pertama, Habibie harus dirawat
di rumah sakit jiwa. Kedua, tetap di rumah tapi ada tim dokter dari Indonesia
dan Jerman ikut merawat. Ketiga, dipersilakan curhat kepada orang-orang yang dekat
dengan Habibie dan Ainun. Keempat, dengan menulis. Nah, Habibie pilih yang
keempat.
Maka, siang dan malam Habibie membenamkan diri di depan komputer
dan kertas. Ia mencurahkan segala apa yang ada dalam fikirannya tentang Ainun.
Ia menceritakan apa saja mulai dari awal pertemuan dengan Ainun, sampai akhirnya
Ainun menghembuskan nafas terakhirnya karena komplikasi penyakit. Habibie
menumpahkan semua uneg-uneg dari
dalam lubuk hatinya ke atas kertas.
Habibie ingat betul kapan pertama kali jatuh cinta kepada Ainun.
Saat itu, pada malam takbiran 7 Maret 1962, Habibie silaturahim ke rumah
keluarga Besari, ayah Ainun, di jalan Rangga Malela, Bandung. Pandangan mata pertama
dengan Ainun telah menimbulkan perasaan rindu untuk berpandangan lagi.
Pandangan pada mata malam itu lah yang mengantarkan keduanya pada kisah-kisah
romantisme hari berikutnya, dan menikah tiga bulan kemudian.
Ainun juga selalu mendampingi dan mendukung pekerjaannya
sebagai Menteri Riset dan Teknologi era Presiden Soeharto. Sebagai istri anggota
Kabinet Pembangunan, Ainun aktif dalam Dharma Wanita. Ainun memimpin Balai Bina
Kerta Raharja, lembaga sosial yang bergerak menjadikan para tuna wisma menjadi
transmigran. Saat Habibie menghadapi masa-masa krisis pada reformasi Mei 1998
dan menjabat Presiden ke-3 RI selama 17 bulan, Ainun tabah mendampinginya. Ainun
selalu mandiri dan tidak pernah mengeluh atau menggangu pekerjaan suami.
Seberat apapun pekerjaannya, ia selalu memberi senyuman menenangkan suami.
Habibie juga menuliskan detik-detik perpisahannya dengan
Ainun yang terbaring sakit di rumah sakit Ludwig Maximilian University di
Muenchen. Setelah Ainun berpulang, Habibie masih mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang menghantui pikiran dan perasaannya. “Di mana Ainun
berada saat ini? Bagaimana Habibie bisa terhubung dengan Ainun?” Semua dijawab
Habibie dengan memanfaatkan pengetahuan, pengalaman dan keyakinannya.
Maka, lahirlah buku setebal 323 halaman yang diterbitkan The
Habibie Center. "Bagi saya pribadi, hikmah menulis buku ini, telah menjadi
terapi untuk mengobati kerinduan, rasa tiba-tiba kehilangan oleh seorang yang
selama 48 tahun 10 hari berada dalam kehidupan saya,” begitu tulis Habibie dalam
pengantar.
Setelah meluncurkan buku itu, Habibie memang masih sering
menangis terbata-bata saat diwawancarai media massa tentang mendiang istrinya. Namun,
secara umum, ia seolah ‘dilahirkan kembali’ setelah mengalami masai-masa malignant. Ia bisa tampil di depan umum
dengan lebih tegar, bisa menikmati olahraga berenang seperti sebelumnya, bisa
melontarkan gagasan-gagasan cemerlang untuk negerinya.
Bukan cuma memberi manfaat bagi kesehatan fisik dan psikis
pribadi Habibie, ternyata buku itu juga menginspirasi begitu banyak kaum muda.
Buku berjudul Habibie & Ainun itu
dibeli banyak orang sehingga dicetak sampai tiga kali. Bahkan, film dari buku
itu juga menyedot banyak penonton. Sebagai ilustrasi, film dengan judul sama itu
dinikmati lebih dari 3 juta penonton di gedung bioskop hanya dalam tiga minggu
pertama pemutaran. Belum lagi yang menonton di CD.
Maka, kalau sedang resah atau sakit, kita bisa meniru apa
yang pernah dilakukan Habibie. Semoga keresahan kita (setelah tertuang dalam
tulisan) berubah menjadi energi positif yang bisa menyembuhkan diri kita
sendiri dan menginspirasi banyak orang.
Jadi, MENULISLAH.
Penulis adalah
praktisi media, berbagi pengetahuan dan pengalaman di kampus, berbagi inspirasi
pada umum lewat motivational training; bisa dihubungi di 081332539032 atau
cilukbha@gmail.com
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete