Thursday, May 12, 2016

Mengubah Sudut Pandang terhadap Masalah



Oleh; Teguh Wahyu Utomo

Kadang, masalah terbesar adalah kita tidak mengerti masalah yang sebenarnya.

Ini ada kisah nyata untuk menggambarkannya:

Pada 1959, Henry Kremer pengusaha asal Inggris membuat sayembara menggiurkan. Ia menyediakan hadiah £ 50.000 pada manusia pertama yang bisa membuat pesawat terbang yang hanya digerakkan tubuh pilotnya (pesawat terbang gaya Leonardo da Vinci). Syaratnya, pesawat itu bisa terbang melintasi dua penanda berjarak 1,5 mil (2,4 km). Sebagai bonus, ia juga menyediakan £ 100.000 bagi orang pertama yang menerbangkan pesawat bertenaga manusia melintasi Selat Inggris.

Jika dinilai dengan uang tahun 2016, sayembara itu kira-kira setara Rp 18,2 milyar dan Rp 45 milyar. Maka, puluhan tim dengan orang-orang pintar mencoba membangun pesawat itu. Namun, semua gagal menerbangkan pesawat hingga jarak yang ditentukan. Pesawat bisa lepas landas, namun jatuh setelah terbang beberapa meter. Kremer mengulur waktu hingga satu tahun untuk proyek itu, namun tetap saja semua hancur berkeping-keping di tanah.

Hingga akhirnya Paul MacCready mendaftarkan diri. Ia mempelajari permasalahannya hingga menyimpulkan peserta lain telah bekerja sangat keras namun keliru memandang masalah. Maka, MacCready mengubah sudut pandang. Menurut sudut pandangnya, masalahnya bukan penerbangan-bertenaga-manusia. Masalah yang harus dipecahkan adalah bagaimana membuat pesawat yang dapat dibangun kembali dalam hitungan jam, bukannya dalam hitungan bulan.

Maka, MacCready membuat pesawat dengan bahan Mylar, tabung aluminium, dan kawat. Pesawat-bertenanga-manusia itu bisa dibangun dalam hitungan jam; bukan dalam hitungan bulan seperti pesawat tim lain.

Awalnya, pesawat bermoncong buatan MacCready itu juga jatuh seperti pesawat lain. Ia lalu mengkaji kelemahannya, dan sadar bahwa pesawatnya terlalu tipis. Begitu tahu permasalahan, ia membuat pesawat dalam hitungan jam. Maka, dalam sehari, ia bisa menguji tiga atau empat pesawat berbeda. Ini beda dengan tim lain yang butuh 3 atau 4 tahun untuk menguji terbang 3 atau 4 pesawat berbeda.

Maka, setengah tahun setelah daftar mengikuti sayembara, MacCready berhasil membuat desain pesawat-bertenaga-manusia yang bisa terbang 2,17 kilometer dan memenangi £ 50.000. Setahun setelah itu, MacCready memenangi hadiah £ 100.000 setelah ‘Gossamer Albatross’ bertenaga-manusia buatannya terbang melintasi Selat Inggris.

Apa pelajaran dari kisah MacCready?

Ketika menghadapi masalah yang tampaknya sulit, jangan frontal terfokus menghadapinya. Mendapat kepala sekolah cerewet, jangan langsung dibungkam. Punya murid selalu telat, jangan langsung disetrap. Ditarget menulis satu buku, jangan bayangkan tebalnya.
Bisa jadi kita perlu untuk mengkaji-ulang dan mendefinisikan ulang permasalahannya. Setelah mendapatkan permasalahan yang tepat, kita bisa fokus mencari pemecahannya.

Bisa jadi, kepala sekolah yang cerewet bisa dimanfaatkan untuk memperjuangkan hak-hak guru ke Diknas. Anak yang sering terlambat bukan hanya karena tidak disiplin. Bisa jadi, ia membantu orangtuanya dulu mngurusi adik-adiknya. Kalau susah menulis buku, ya ngomong saja di depan orang lain atau sendirian lalu rekam suara kita. Kemudian, ketik omongan itu menjadi tulisan. Anda tinggal mengeditnya untuk menjadi buku.

Kalau awalnya gagal, coba terus sampai sukses. Yang penting, mari kita belajar;
- lebih cepat memahami permasalahan,
- lebih cepat memulihkan diri dari kegagalan,
- lebih cepat mengambil pelajaran dari permasalahan,
- dan lebih cepat menemukan pola-pola pemecahan masalah.

Dengan cara itu, kita pasti mendapatkan solusi lebih baik.
Jangan lupa, libatkan Tuhan untuk semua proses.

Penulis adalah praktisi media massa, berbagi pengetahuan dengan mahasiswa di UPN Veteran Jawa Timur, dan penulis buku; bisa dihubungi di 081332539 032 atau cilukbha@gmail.cim atau facebook https://www.facebook.com/teguh.w.utomo.

Thursday, January 7, 2016

Membudidayakan Kebaikan pada Anak


Oleh: Teguh Wahyu Utomo

‘Mendidik pikiran tanpa mendidik hati itu sama sekali bukan pendidikan,’ kata Aristoteles

Bukan rahasia lagi, anak-anak zaman sekarang dinilai kurang empatik dibanding anak-anak zaman dulu (yang sekarang sudah jadi orang dewasa atau tua). Anak-anak zaman sekarang dinilai lebih mementingkan diri sendiri daripada anak-anak era dua dekade lalu. Anak-anak zaman sekarang lebih susah mengendalikan emosi daripada anak-anak zaman sebelumnya.

Ya, zaman memang berbeda sehingga tantangan hidup juga beda. Tekanan yang dihadapi anak-anak zaman sekarang beda dengan tantangan zaman dulu. Anak-anak zaman dulu mendapat tekanan dalam bentuk keprihatinan hingga peperangan. Anak-anak zaman damai justru mendapat tekanan risiko sosial, stres, hingga intimidasi.

Stres menyebabkan peningkatan kadar hormon kortisol dan semacam gangguan mental yang membuat anak-anak lebih sulit mengembangkan empati. Anak-anak sulit memahami dan mengatur emosi diri mereka sendiri, sehingga mengurangi kapasitas mengembangkan empati terhadap orang lain.

Selain itu, stres juga menular. Ketika guru berada dalam lingkungan anak-anak yang stress, ada kemungkinan ikut kena stress juga. Sebaliknya, ketika guru di depan kelas dalam kondisi stress, besar kemungkinan anak-anak jadi ikutan stress juga.

Jadi, apa yang harus dilakukan guru?

Seperti kebugaran fisik, guru juga perlu menjaga kebugaran sosial dan emosional pada anak-anak. Kesadaran diri, empati, pemecahan masalah secara damai, mengatur diri sendiri, dan sejenisnya, perlu diajarkan pada anak-anak dan dipraktekkan dari waktu ke waktu.

Daniel Goleman, penulis buku Emotional Intelligence, menegaskan otak emosional menanggapi peristiwa lebih cepat daripada otak berpikir. Hanya 20% keberhasilan dapat diprediksi dengan IQ, sisanya ditentukan EQ. Anak-anak kelas 3 dinilai berdasarkan dimensi emosi sosialnya serta berdasarkan prestasi akademiknya. Ternyata, prediksi berdasarkan emosi sosial lebih akurat daripada prediksi berdasarkan akademik saat anak-anak yang diuji itu berada di SMA.

Maka, agar anak menjadi lebih baik dalam hubungan sosial, guru sangat perlu mendidik ‘hatinya’ selain mendidik otaknya. Dengan mendidik ‘hati’, guru bisa membudidayakan kebaikan pada anak sehingga berperilaku baik pada saat ini dan lebih sukses di masa datang. Yang perlu dididikkan antara lain;
-   
       Kesadaran diri: Kemampuan untuk mengenali emosi diri dan pengaruhnya terhadap perilaku.
-   
       Manajemen diri: Kemampuan mengatur emosi, pikiran, dan perilaku secara efektif dalam situasi berbeda. Ini termasuk mengelola stres, mengendalikan impuls, memotivasi diri.
-   
       Kesadaran sosial: Kemampuan mengambil perspektif dan berempati pada orang lain dari berbagai latar belakang dan keadaan. Ini termasuk memahami norma sosial dan etika perilaku bermasyarakat.
-   
       Berhubungan sosial: Kemampuan membangun dan mempertahankan hubungan yang sehat dan bermanfaat dengan individu dan kelompok yang beragam. Ini termasuk berkomunikasi dengan jelas, mendengarkan secara aktif, bekerja sama, menolak tekanan yang tidak pantas, bernegosiasi secara konstruktif, dan mencari atau memberi bantuan bila diperlukan.
-   
       Pengambilan keputusan: Kemampuan untuk membuat pilihan konstruktif dan terhormat tentang perilaku pribadi dan interaksi sosial berdasarkan standar etika, keamanan, norma sosial, serta evaluasi realistis tentang konsekuensi dari berbagai tindakan terhadap diri sendiri dan orang lain.
-   
       Ketuhanan; kemampuan untuk menyadari tanggung-jawab tertinggi sebagai mahluk.

Guru harus lebih fokus pada kelebihan anak-anak, daripada kekurangan mereka. Guru harus lebih mendukung tindak pencegahan daripada intervensi. Guru harus membekali anak dengan alat yang tepat (ibaratnya, memberi jaket pelampung), dan bukannya menunggu krisis terjadi (ibaratnya, melempar ban ketika muridnya sudah tenggelam di dalam air).

Bisa?

Penulis adalah praktisi media yang berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk mahasiswa UPN Jatim serta memberi pelatihan motivasional untuk masyarakat umum. Bisa dihubungi di 081332539032 atau cilukbha@gmail.com atau dilihat di https://www.facebook.com/teguh.w.utomo

Thursday, November 26, 2015

Siapa Mau Bela Guru Swasta?



Oleh; Teguh Wahyu Utomo

Jer Basuki Mawa Beya.
Kalau mau makmur, ya tentu perlu biaya. Kalau sudah ada biayanya? Nah, jangan lupa, harus ditebar dengan adil tanpa pilih kasih pada yang berhak menerima.

Ada perobahan yang cukup drastik dalam jagad pendidikan di Indonesia. Lewat perjuangan politik, bukan profesional, akhirnya UUD 45 mengamanatkan 20% APBN diarahkan ke sektor pendidikan. Tiba-tiba, ada uang begitu besar untuk membiayai sistem pendidikan kita.

Bergulirnya uang dari negara selalu menggeser perimbangan pendidikan yang dikelola pemerintah dan pihak swasta. Di masa kolonial, pemerintah Belanda membuka sedikit celah bagi kaum pribumi untuk belajar di sekolah pemerintah dan lembaga swasta (misalnya; Perguruan Taman Siswa) memberi alternatif bagi pendidikan kaum pribumi. Pada era Presiden Soekarno, sistem pendidikan sedang mengalami revolusi dan mencari bentuk.

Era Presiden Soeharto, sekolah negeri banyak namun biayanya ditekan semurah mungkin sehingga terjangkau rakyat namun gaji guru relatif kecil. Sekolah swasta berkembang dan dibolehkan memungut sumbangan dari wali murid. Karena anggaran terbatas, perkembangan sekolah-sekolah negeri dan gurunya juga seperti bonsai. Karena bisa menggalang dana ekstra, lembaga swasta lebih mungkin mengembangkan sekolahnya dan gurunya. Banyak sekolah swasta berkualitas bagus karena banyak dana. Sekolah negeri, untuk bisa berjalan, bahkan ikutan meminta SPP.

Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga sekarang, perimbangannya berbalik. Dengan 20% APBN untuk pendidikan, ada uang banyak sekali digulirkan. Karena kran uangnya dibuka pemerintah, maka sekolah-sekolah negeri dan guru PNS yang mendapat jatah istimewa. Ketika zaman Presiden Soeharto, menjadi guru negeri itu gajinya kecil sehingga ada yang menyindir guru singkatan dari ‘wagu’ dan ‘kuru’. Zaman sekarang, orang justru berebut menjadi guru PNS karena gajinya besar dan dapat tunjangan profesi. Bahkan, PNS lain tidak mendapat tunjangan profesi seperti guru.

Lalu, bagaimana dengan nasib sekolah dan guru swasta zaman sekarang?

Guru swasta bukan PNS ini 40% dari total jumlah guru di Indonesia; atau sekitar 1,3 juta orang. Sekolah swasta kira-kira 25% dari total sekolah di Indonesia. Dan, jumlah guru swasta dan sekolah swasta ini cenderung menurun. Mengapa? Sejumlah sekolah swasta sudah ditutup atau dimerger agar jumlah muridnya cukup. Sejumlah guru swasta yang muda pindah ke profesi lain yang uangnya cukup. Sejumlah guru swasta yang berusia lanjut mencoba bertahan.

Padahal, banyak guru dan sekolah swasta zaman dulu mutunya tidak kalah dibanding guru atau sekolah negeri. Produk yang dihasilkan oleh guru dan sekolah swasta banyak yang tak kalah bagus dibandingkan produk guru dan sekolah negeri. Kontribusi guru dan sekolah swasta di masyarkat bawah sangat mengakar. Namun, saat ini, sebagian besar guru dan sekolah swasta dianggap sebagai ‘kelas dua’ di bawah guru atau sekolah negeri. Semua ini gara-gara ‘jer basuki mawa beya’ tadi.

Sekolah negeri, karena sudah mendapat dana dari pemerintah, bisa berburu murid. Anak yang macul membantu ayahnya di sawah langsung dijemput untuk sekolah. Gratis. Kalau sudah digratiskan, lalu bagaimana jatah sekolah swasta? Biasanya, sekolah swasta memungut sisa-sisa murid yang tidak bisa masuk negeri. Sekarang, jatah yang harusnya bisa dipungut itu sudah tersedot ke sekolah negeri yang makin banyak dan gratis.

Guru swasta bukan PNS yang sudah mengabdi lebih dari lima tahun bergaji jauh di bawah guru berstatus PNS dengan masa pengabdian yang sama. Padahal, soal mutu dan integritas, dua jenis guru itu bisa diadu. Masalahnya, bila ada peluang pelatihan, peningkatan status, dan sejenisnya, guru-guru negeri lebih diprioritaskan daripada guru swasta. Tak pelak, yang lebih dulu (sehingga lebih banyak) mendapatkan sertifikasi adalah guru negeri daripada guru swasta.

Bila pendidikan disepakati sebagai jalan menuju kehidupan yang sejahtera, maka kualitas sekolah dan guru harus sama-sama diperbaiki. Tidak boleh ada kastanisasi. Pemerintah dan dinas pendidikan jangan pilih kasih mendahulukan yang negeri dan meninggalkan yang swasta. Organisasi keguruan juga harus lebih concern pada guru-guru swasta. Jangan sampai guru dan sekolah swasta menjadi mahkluk langka.

Ingat, uang yang dikelola pemerintah itu asalnya dari rakyat yang kebanyakan swasta.

Penulis adalah praktisi media, berbagi ilmu untuk mahasiswa UPN Veteran Jatim, memberi pelatihan motivasional untuk umum, bisa dihubungi di 081332539032 atau cilukbha@gmail.com

Thursday, October 15, 2015

Yuk, Ajari Siswa Social Skill



Oleh; Teguh Wahyu Utomo

Bukan rahasia lagi; nilai terbaik di rapor tidak menjamin anak menjadi orang sukses di masa dewasa; prestasi akademik terbaik di sekolah tidak selalu menghasilkan manusia-manusia terbaik di masa mendatang.

Tak usah ditanyakan lagi; anak yang punya social skill cenderung punya kelebihan signifikan di dalam hidup. Tidak hanya bisa menikmati hubungan positif dalam keseharian, tapi juga cenderung bisa lebih baik di sekolah, memiliki imaji-diri yang lebih baik, lebih percaya diri, dan lebih ulet menghadapi berbgaai tantangan hidup.

Bagaimana dengan murid-murid kita?

Beberapa anak dilahirkan dengan membawa bakat gampang bersosialisasi. Anak yang lain justru susah mengetahui cara agar bisa diterima pihak lain secara sosial. Ada anak yang gampang mencari teman; ada yang sering menyendiri. Ada anak yang mudah mengontrol diri, ada pula yang gampang marah meledak-ledak. Ada yang berbakat memimpin, ada juga yang justru menarik diri.

Banyak aspek perkembangan sosial anak yang memang sudah jadi bawaan orok. Tapi, jangan lupa, lingkungan juga punya peran penting dalam membentuk perkembangan sosial anak. Nah, peran guru jadi sangat penting di sini. Lebih-lebih, anak menghabiskan waktu cukup signifikan di sekolah.

Belakangan, makin banyak pakar psikologi dan psikiatri mendesak bahwa social skills bisa dan harus diajarkan pada anak. Banyak studi membuktikan anak pemalu bisa diajari menjadi anak percaya diri dan mudah bergaul, anak agresif bisa diajari untuk mengontrol diri, hingga anak tertutup bisa diajari untuk berteman.

Ada banyak hal dan metode yang bisa diajarkan agar anak memiliki social skill. Salah satu yang sering dijadikan landasan bagi kesuksesan sosial adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif. Skill komunikasi ini terdiri dari banyak kemampuan. Guru harus sering mengasah aktivitas ini untuk membantu anak-anak berkomunikasi dengan pihak lain dan bersikap baik sehingga membentuk persahabatan kuat.

Komunikasi sosial ini juga ‘bahasa’. Anak-anak dilahirkan dengan kemampuan berbeda untuk mempelajari ‘bahasa’ itu, sebagaimana mereka mempelajari bidang lain. Namun, yang pasti, komunikasi efektif bisa diajarkan dengan banyak latihan dan dorongan yang membesarkan hati anak.

Misalnya, dorong anak untuk memahami lalu mengekspresikan apa yang membuat dirinya unik dibanding anak-anak lain. Ajari anak untuk mengungkapkan keinginan, minat, nilai-nilai, hingga permasalahan yang dihadapi. Dengan berani mengungkapkan perasaan diri, anak akan bisa meningkatkan rasa percaya diri dan rasa menerima diri.

Lalu, bantu anak belajar berhubungan dengan anak lain. Ajari anak memperkenalkan diri, mengembangkan dialog personal dengan anak lain, dan kemudian menjaga pembicaraan saat berada dalam kelompok bersama anak-anak lainnya.

Anak yang tidak punya social skills sering kali memilih cara keliru atau tidak efektif saat berinteraksi dengan anak lain. Ia mungkin menarik diri atau meminta perhatian penuh dari pihak lain. Dua sisi ektrim itu hanya akan menghasilkan penolakan dari pihak lain atau kelompok anak.

Maka, ajari anak cara-cara berkomunikasi yang baik agar bisa diterima secara sosial. Ajari tata-krama, unggah-ungguh. Tidak hanya bisa diterima oleh anak-anak lain sebaya, ia juga pasti bisa diterima bergaul dengan kalangan orang dewasa.

Bukan cuma bahasa atau kata yang diucapkan, tapi ajari juga bagaimana cara mengucapkannya. Itu karena yang nonverbal punya dampak lebih signifikan daripada yang verbal. Orang cenderung memperhatikan bukan sekadar kata yang diucapkan tapi lebih ke bagaimana kata-kata itu diucapkan.

Ada anak yang berbakat komunikasi nonverbal. Ia secara naluriah tahu kapan dan bagaimana mengungkapkan perasaan, dan tahu bagaimana ‘membaca’ perasaan anak lain. Ada anak lain yang tidak pandai berkomunikasi nonverbal. Kata-katanya baik, namun cara mengucapkannya bisa membuat anak lain sakit hati.

Beberapa pakar psikologi menyebut 10% dari total populasi anak punya masalah dengan kemampuan nonverbal ini, yang bisa dikait-kaitkan dengan masalah sosial, emosional, hingga perilaku. Anak-anak semacam ini layak mendapat pembelajaran dan pelatihan khusus agar kelak bisa lebih bisa bersosialisasi di kehidupan nyata saat dewasa.

Penulis adalah praktisi media, berbagi dengan mahasiswa di UPN ‘Veteran’ Jatim, berbagi dengan umum di berbagai pelatihan motivasional, dan bisa dihubungi di 081332539032 atau cilukbha@gmail.com