Oleh: Teguh Wahyu
Utomo
‘Mendidik pikiran
tanpa mendidik hati itu sama sekali bukan pendidikan,’ kata Aristoteles
Bukan rahasia lagi, anak-anak zaman sekarang dinilai kurang
empatik dibanding anak-anak zaman dulu (yang sekarang sudah jadi orang dewasa
atau tua). Anak-anak zaman sekarang dinilai lebih mementingkan diri sendiri
daripada anak-anak era dua dekade lalu. Anak-anak zaman sekarang lebih susah
mengendalikan emosi daripada anak-anak zaman sebelumnya.
Ya, zaman memang berbeda sehingga tantangan hidup juga beda.
Tekanan yang dihadapi anak-anak zaman sekarang beda dengan tantangan zaman
dulu. Anak-anak zaman dulu mendapat tekanan dalam bentuk keprihatinan hingga
peperangan. Anak-anak zaman damai justru mendapat tekanan risiko sosial, stres,
hingga intimidasi.
Stres menyebabkan peningkatan kadar hormon kortisol dan semacam
gangguan mental yang membuat anak-anak lebih sulit mengembangkan empati. Anak-anak
sulit memahami dan mengatur emosi diri mereka sendiri, sehingga mengurangi
kapasitas mengembangkan empati terhadap orang lain.
Selain itu, stres juga menular. Ketika guru berada dalam
lingkungan anak-anak yang stress, ada kemungkinan ikut kena stress juga.
Sebaliknya, ketika guru di depan kelas dalam kondisi stress, besar kemungkinan anak-anak
jadi ikutan stress juga.
Jadi, apa yang harus dilakukan guru?
Seperti kebugaran fisik, guru juga perlu menjaga kebugaran
sosial dan emosional pada anak-anak. Kesadaran diri, empati, pemecahan masalah secara
damai, mengatur diri sendiri, dan sejenisnya, perlu diajarkan pada anak-anak dan
dipraktekkan dari waktu ke waktu.
Daniel Goleman, penulis buku Emotional Intelligence, menegaskan otak emosional menanggapi
peristiwa lebih cepat daripada otak berpikir. Hanya 20% keberhasilan dapat
diprediksi dengan IQ, sisanya ditentukan EQ. Anak-anak kelas 3 dinilai berdasarkan
dimensi emosi sosialnya serta berdasarkan prestasi akademiknya. Ternyata,
prediksi berdasarkan emosi sosial lebih akurat daripada prediksi berdasarkan
akademik saat anak-anak yang diuji itu berada di SMA.
Maka, agar anak menjadi lebih baik dalam hubungan sosial,
guru sangat perlu mendidik ‘hatinya’ selain mendidik otaknya. Dengan mendidik
‘hati’, guru bisa membudidayakan kebaikan pada anak sehingga berperilaku baik
pada saat ini dan lebih sukses di masa datang. Yang perlu dididikkan antara
lain;
-
Kesadaran diri: Kemampuan untuk mengenali emosi diri
dan pengaruhnya terhadap perilaku.
-
Manajemen diri: Kemampuan mengatur emosi,
pikiran, dan perilaku secara efektif dalam situasi berbeda. Ini termasuk
mengelola stres, mengendalikan impuls, memotivasi diri.
-
Kesadaran sosial: Kemampuan mengambil perspektif
dan berempati pada orang lain dari berbagai latar belakang dan keadaan. Ini
termasuk memahami norma sosial dan etika perilaku bermasyarakat.
-
Berhubungan sosial: Kemampuan membangun dan
mempertahankan hubungan yang sehat dan bermanfaat dengan individu dan kelompok
yang beragam. Ini termasuk berkomunikasi dengan jelas, mendengarkan secara
aktif, bekerja sama, menolak tekanan yang tidak pantas, bernegosiasi secara
konstruktif, dan mencari atau memberi bantuan bila diperlukan.
-
Pengambilan keputusan: Kemampuan untuk membuat
pilihan konstruktif dan terhormat tentang perilaku pribadi dan interaksi sosial
berdasarkan standar etika, keamanan, norma sosial, serta evaluasi realistis tentang
konsekuensi dari berbagai tindakan terhadap diri sendiri dan orang lain.
-
Ketuhanan; kemampuan untuk menyadari
tanggung-jawab tertinggi sebagai mahluk.
Guru harus lebih fokus pada kelebihan anak-anak, daripada
kekurangan mereka. Guru harus lebih mendukung tindak pencegahan daripada
intervensi. Guru harus membekali anak dengan alat yang tepat (ibaratnya,
memberi jaket pelampung), dan bukannya menunggu krisis terjadi (ibaratnya,
melempar ban ketika muridnya sudah tenggelam di dalam air).
Bisa?
Penulis adalah praktisi media yang
berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk mahasiswa UPN Jatim serta memberi
pelatihan motivasional untuk masyarakat umum. Bisa dihubungi di 081332539032
atau cilukbha@gmail.com atau dilihat di https://www.facebook.com/teguh.w.utomo