Thursday, November 26, 2015

Siapa Mau Bela Guru Swasta?



Oleh; Teguh Wahyu Utomo

Jer Basuki Mawa Beya.
Kalau mau makmur, ya tentu perlu biaya. Kalau sudah ada biayanya? Nah, jangan lupa, harus ditebar dengan adil tanpa pilih kasih pada yang berhak menerima.

Ada perobahan yang cukup drastik dalam jagad pendidikan di Indonesia. Lewat perjuangan politik, bukan profesional, akhirnya UUD 45 mengamanatkan 20% APBN diarahkan ke sektor pendidikan. Tiba-tiba, ada uang begitu besar untuk membiayai sistem pendidikan kita.

Bergulirnya uang dari negara selalu menggeser perimbangan pendidikan yang dikelola pemerintah dan pihak swasta. Di masa kolonial, pemerintah Belanda membuka sedikit celah bagi kaum pribumi untuk belajar di sekolah pemerintah dan lembaga swasta (misalnya; Perguruan Taman Siswa) memberi alternatif bagi pendidikan kaum pribumi. Pada era Presiden Soekarno, sistem pendidikan sedang mengalami revolusi dan mencari bentuk.

Era Presiden Soeharto, sekolah negeri banyak namun biayanya ditekan semurah mungkin sehingga terjangkau rakyat namun gaji guru relatif kecil. Sekolah swasta berkembang dan dibolehkan memungut sumbangan dari wali murid. Karena anggaran terbatas, perkembangan sekolah-sekolah negeri dan gurunya juga seperti bonsai. Karena bisa menggalang dana ekstra, lembaga swasta lebih mungkin mengembangkan sekolahnya dan gurunya. Banyak sekolah swasta berkualitas bagus karena banyak dana. Sekolah negeri, untuk bisa berjalan, bahkan ikutan meminta SPP.

Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga sekarang, perimbangannya berbalik. Dengan 20% APBN untuk pendidikan, ada uang banyak sekali digulirkan. Karena kran uangnya dibuka pemerintah, maka sekolah-sekolah negeri dan guru PNS yang mendapat jatah istimewa. Ketika zaman Presiden Soeharto, menjadi guru negeri itu gajinya kecil sehingga ada yang menyindir guru singkatan dari ‘wagu’ dan ‘kuru’. Zaman sekarang, orang justru berebut menjadi guru PNS karena gajinya besar dan dapat tunjangan profesi. Bahkan, PNS lain tidak mendapat tunjangan profesi seperti guru.

Lalu, bagaimana dengan nasib sekolah dan guru swasta zaman sekarang?

Guru swasta bukan PNS ini 40% dari total jumlah guru di Indonesia; atau sekitar 1,3 juta orang. Sekolah swasta kira-kira 25% dari total sekolah di Indonesia. Dan, jumlah guru swasta dan sekolah swasta ini cenderung menurun. Mengapa? Sejumlah sekolah swasta sudah ditutup atau dimerger agar jumlah muridnya cukup. Sejumlah guru swasta yang muda pindah ke profesi lain yang uangnya cukup. Sejumlah guru swasta yang berusia lanjut mencoba bertahan.

Padahal, banyak guru dan sekolah swasta zaman dulu mutunya tidak kalah dibanding guru atau sekolah negeri. Produk yang dihasilkan oleh guru dan sekolah swasta banyak yang tak kalah bagus dibandingkan produk guru dan sekolah negeri. Kontribusi guru dan sekolah swasta di masyarkat bawah sangat mengakar. Namun, saat ini, sebagian besar guru dan sekolah swasta dianggap sebagai ‘kelas dua’ di bawah guru atau sekolah negeri. Semua ini gara-gara ‘jer basuki mawa beya’ tadi.

Sekolah negeri, karena sudah mendapat dana dari pemerintah, bisa berburu murid. Anak yang macul membantu ayahnya di sawah langsung dijemput untuk sekolah. Gratis. Kalau sudah digratiskan, lalu bagaimana jatah sekolah swasta? Biasanya, sekolah swasta memungut sisa-sisa murid yang tidak bisa masuk negeri. Sekarang, jatah yang harusnya bisa dipungut itu sudah tersedot ke sekolah negeri yang makin banyak dan gratis.

Guru swasta bukan PNS yang sudah mengabdi lebih dari lima tahun bergaji jauh di bawah guru berstatus PNS dengan masa pengabdian yang sama. Padahal, soal mutu dan integritas, dua jenis guru itu bisa diadu. Masalahnya, bila ada peluang pelatihan, peningkatan status, dan sejenisnya, guru-guru negeri lebih diprioritaskan daripada guru swasta. Tak pelak, yang lebih dulu (sehingga lebih banyak) mendapatkan sertifikasi adalah guru negeri daripada guru swasta.

Bila pendidikan disepakati sebagai jalan menuju kehidupan yang sejahtera, maka kualitas sekolah dan guru harus sama-sama diperbaiki. Tidak boleh ada kastanisasi. Pemerintah dan dinas pendidikan jangan pilih kasih mendahulukan yang negeri dan meninggalkan yang swasta. Organisasi keguruan juga harus lebih concern pada guru-guru swasta. Jangan sampai guru dan sekolah swasta menjadi mahkluk langka.

Ingat, uang yang dikelola pemerintah itu asalnya dari rakyat yang kebanyakan swasta.

Penulis adalah praktisi media, berbagi ilmu untuk mahasiswa UPN Veteran Jatim, memberi pelatihan motivasional untuk umum, bisa dihubungi di 081332539032 atau cilukbha@gmail.com