Tuesday, March 24, 2015

Melek Media? HARUS!





Mari kita simak data-data berikut ini;

- Anak-anak (di Amerika) rata-rata menonton 40.000 iklan televisi per tahun (Strasburger, 2001).
- Anak-anak menggunakan media massa hampir delapan jam per hari (Businesweek, Januari 2010)
- Tapi, anak-anak tidak bisa membedakan antara iklan di televisi dan program acara televisi. Mereka tidak tahu bahwa iklan bertujuan menjual sesuatu (Comstock, 1991)
- Anak-anak yang banyak menonton televisi lebih menginginkan mainan dan makanan yang diiklankan daripada anak-anak yang tidak banyak menonton televisi. (Strasburger, 2002)

Boleh-boleh saja jika Anda berargumen, ‘Ah, itu kan di Amerika.’ Namun, sangat mungkin gambaran serupa terjadi juga di sini. Kalau tidak percaya, silakan amati anak kita masing-masing. Berapa lama anak-anak kita menghabiskan waktu di depan televisi, ponsel, video game, dan sejenisnya? Hasilnya, sangat mungkin mendekati angka-angka di atas. Maka, jika dibandingkan waktu belajar di sekolah, tidak berlebihan jika dikatakan media massa sudah menjadi ‘guru baru’ bagi anak-anak.

Media massa memang bisa membuat anak mendapat informasi terbaru dalam hitungan detik dan dari mana saja. Konten media bermutu, misalnya program-program semacam National Geography, Bocah Petualang, atau quiz sungguhan, bisa menambah pengetahuan dan pemahaman anak-anak.
Masalahnya, tidak semua konten media massa mencerdaskan anak. Beberapa produk media meningkatkan tekanan darah atau menciptakan perasaan negatif. Anak berumur lima tahun sudah mengenal rasa takut pada pocong. Iklan bisa memberi informasi namun lebih sering justru menjerumuskan karena efek komersialisasi.

Lalu, bagaimana?

Pengelola media massa harus sangat hati-hati sebelum menyajikan produk pada publik. Namun, repot. Itu mungkin saja terjadi kalau si pengelola punya tanggung jawab sosial dan moral yang tinggi. Yang lebih umum, justru pengelola media mendewakan rating karena berpotensi mendatangkan uang.

Kalau tidak bisa terlalu mengandalkan peran pengelola media, ya publik harus dibuat melek media; harus tahu mana media yang baik dan mana media yang menyesatkan. Nah, di sini peran guru, orangtua dan lembaga pengawas media.

Lembaga pengawas media memberi arahan tertentu bagi program melek media. Guru-guru menyadarkan murid-murid tentang manfaat dan ancaman konten media massa. Orangtua mendampingi anak-anak saat menikmati sajian media massa.


Penulis aalah praktisi media; memberi pelatihan motivasional pada umum; bisa dihubungi di 081332539032, atau cilukbha@gmail.com

Monday, March 23, 2015

Teknik SMART untuk Membimbing Siswa Bercita-cita






“Tejo, apa cita-citamu?” tanya Ibu Guru pada salah seorang muridnya di kelas 2 SD.
“Mau jadi dokter, Bu,” jawab Tejo.
“Wahhh, itu cita-cita yang bagus,” kata Ibu Guru. “Tahu bagaimana caranya menjadi dokter?”
“Tahu, Bu. Bawa jarum, kalau ada orang lewat langsung disuntik…!”

Oalah, Jo….Tejo… Cita-citamu koq gak jelas begitu. Masak ada dokter yang asal-asalan suntik orang lewat.

Menanyakan cita-cita murid itu bagus. Jika cita-cita tertanam dalam-dalam di benak anak, itu bisa mendorongnya menjalani kehidupan masa datang. Cita-cita yang kuat akan memberi inspirasi bagi pemikiran dan tindakan anak untuk mewujudkannya. Bagaikan energi sangat besar yang menggerakkan kehidupannya.

Sayangnya, tidak banyak anak bisa menetapkan cita-cita dengan tepat. Ketika Tejo menggambarkan cita-citanya jadi dokter, bisa jadi itu cita-cita orangtuanya –bukan murni cita-cita dari nurani Tejo. Akibatnya, cita-cita yang tidak tepat atau tidak dari nurani sendiri itu tidak tertanam jauh di dalam benak anak. Cita-cita yang tidak jelas membuat anak tidak memburunya di kemudian hari.

Menetapkan cita-cita tidak boleh asal-asalan, tapi harus difikirkan dengan seksama. Menetapkan cita-cita itu harus smart. Jika anak-anak belum bisa menetapkan cita-citanya, maka guru atau orangtua patut membimbingnya. Dengan bibingan tepat, cita-cita akan lebih jelas dan nantinya bisa menjadi energi penggerak anak menempuh hidup.

Bagaimana menetapkan cita-cita? Salah satu caranya dengan indikator S-M-A-R-T. Cita-cita harus memenuhi indikator sebagai berikut;
  • SSpecific or Significant; harus merujuk pada satu hal tertentu yang sangat penting. Misalnya, jadi dokter karena bisa membantu orang miskin yang sakit.
  • MMeasurable; harus bisa diukur keberhasilannya. Misalnya; harus lulus Fakultas Kedokteran dan kemudian pendidikan spesialis. Kalau kuliahnya di Sastera, ya jelas tidak bisa jadi dokter.
  • AAttainable atau bisa dijangkau. Untuk pendidikan dokter, biayanya sekian juta. Apa ada? Bagaimana mendapatkannya? Pendidikan dokter juga membutuhkan syarat fisik dan intelektualitas tertentu. Apakah buta warna atau normal? Apakah nilai ujian tertentu bisa mencapai kelulusan?
  • RRelevant atau layak dikejar. Di Indonesia, profesi dokter tentu sangat relevan untuk dikejar. Di negara lain, ada kelebihan dokter sehingga beberapa dokter malah mengembangkan diri menjadi penulis cerita detektif.
  • TTime-bound atau waktunya bisa diperhitungkan. Untuk menjadi dokter spesialis, dibutuhkan pendidikan yang panjang. Mulai dari sekolah dasar lalu sekolah menengah lalu perguruan tinggi hingga pendidikan spesialis. Kalau zaman dokter Soetomo, lulus SD tujuh tahun sudah bisa ikut pendidikan kedokteran. Zaman sekarang, total waktu normal pendidikan bisa 18 tahun sebelum dibolehkan belajar jadi dokter.
Nah, tentu saja murid kelas 1 SD belum mampu membuat hitung-hitungan semacam ini sehingga mereka asal-asalan mengungkapkan cita-cita. Kalau sudah kelas 5 atau 6 SD, hitung-hitungannya bisa lumayan jelas. Akan lebih jelas lagi jika si anak sudah masuk sekolah menengah. Namun, murid memang patut diajari sejak dini untuk punya cita-cita.


Penulis adalah praktisi media massa, berbagi pengalaman dan pengetahuan di UPN Veteran Jatim, dan memberi pelatihan motivasional pada masyarakat umum; bisa dihubungi di 081332539032 atau cilukbha@gmail.com.