Oleh; Teguh Wahyu Utomo
Jer Basuki Mawa Beya.
Kalau mau makmur, ya tentu perlu biaya. Kalau sudah ada
biayanya? Nah, jangan lupa, harus ditebar dengan adil tanpa pilih kasih pada
yang berhak menerima.
Ada perobahan yang cukup drastik dalam jagad pendidikan di
Indonesia. Lewat perjuangan politik, bukan profesional, akhirnya UUD 45
mengamanatkan 20% APBN diarahkan ke sektor pendidikan. Tiba-tiba, ada uang
begitu besar untuk membiayai sistem pendidikan kita.
Bergulirnya uang dari negara selalu menggeser perimbangan
pendidikan yang dikelola pemerintah dan pihak swasta. Di masa kolonial,
pemerintah Belanda membuka sedikit celah bagi kaum pribumi untuk belajar di
sekolah pemerintah dan lembaga swasta (misalnya; Perguruan Taman Siswa) memberi
alternatif bagi pendidikan kaum pribumi. Pada era Presiden Soekarno, sistem
pendidikan sedang mengalami revolusi dan mencari bentuk.
Era Presiden Soeharto, sekolah negeri banyak namun biayanya
ditekan semurah mungkin sehingga terjangkau rakyat namun gaji guru relatif
kecil. Sekolah swasta berkembang dan dibolehkan memungut sumbangan dari wali
murid. Karena anggaran terbatas, perkembangan sekolah-sekolah negeri dan
gurunya juga seperti bonsai. Karena bisa menggalang dana ekstra, lembaga swasta
lebih mungkin mengembangkan sekolahnya dan gurunya. Banyak sekolah swasta
berkualitas bagus karena banyak dana. Sekolah negeri, untuk bisa berjalan,
bahkan ikutan meminta SPP.
Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga sekarang, perimbangannya
berbalik. Dengan 20% APBN untuk pendidikan, ada uang banyak sekali digulirkan.
Karena kran uangnya dibuka pemerintah, maka sekolah-sekolah negeri dan guru PNS
yang mendapat jatah istimewa. Ketika zaman Presiden Soeharto, menjadi guru
negeri itu gajinya kecil sehingga ada yang menyindir guru singkatan dari ‘wagu’
dan ‘kuru’. Zaman sekarang, orang justru berebut menjadi guru PNS karena
gajinya besar dan dapat tunjangan profesi. Bahkan, PNS lain tidak mendapat
tunjangan profesi seperti guru.
Lalu, bagaimana dengan nasib sekolah dan guru swasta zaman
sekarang?
Guru swasta bukan PNS ini 40% dari total jumlah guru di
Indonesia; atau sekitar 1,3 juta orang. Sekolah swasta kira-kira 25% dari total
sekolah di Indonesia. Dan, jumlah guru swasta dan sekolah swasta ini cenderung menurun.
Mengapa? Sejumlah sekolah swasta sudah ditutup atau dimerger agar jumlah
muridnya cukup. Sejumlah guru swasta yang muda pindah ke profesi lain yang
uangnya cukup. Sejumlah guru swasta yang berusia lanjut mencoba bertahan.
Padahal, banyak guru dan sekolah swasta zaman dulu mutunya
tidak kalah dibanding guru atau sekolah negeri. Produk yang dihasilkan oleh
guru dan sekolah swasta banyak yang tak kalah bagus dibandingkan produk guru
dan sekolah negeri. Kontribusi guru dan sekolah swasta di masyarkat bawah
sangat mengakar. Namun, saat ini, sebagian besar guru dan sekolah swasta
dianggap sebagai ‘kelas dua’ di bawah guru atau sekolah negeri. Semua ini
gara-gara ‘jer basuki mawa beya’
tadi.
Sekolah negeri, karena sudah mendapat dana dari pemerintah,
bisa berburu murid. Anak yang macul
membantu ayahnya di sawah langsung dijemput untuk sekolah. Gratis. Kalau sudah
digratiskan, lalu bagaimana jatah sekolah swasta? Biasanya, sekolah swasta
memungut sisa-sisa murid yang tidak bisa masuk negeri. Sekarang, jatah yang
harusnya bisa dipungut itu sudah tersedot ke sekolah negeri yang makin banyak
dan gratis.
Guru swasta bukan PNS yang sudah mengabdi lebih dari lima
tahun bergaji jauh di bawah guru berstatus PNS dengan masa pengabdian yang
sama. Padahal, soal mutu dan integritas, dua jenis guru itu bisa diadu. Masalahnya,
bila ada peluang pelatihan, peningkatan status, dan sejenisnya, guru-guru
negeri lebih diprioritaskan daripada guru swasta. Tak pelak, yang lebih dulu
(sehingga lebih banyak) mendapatkan sertifikasi adalah guru negeri daripada
guru swasta.
Bila pendidikan disepakati sebagai jalan menuju kehidupan
yang sejahtera, maka kualitas sekolah dan guru harus sama-sama diperbaiki. Tidak
boleh ada kastanisasi. Pemerintah dan dinas pendidikan jangan pilih kasih
mendahulukan yang negeri dan meninggalkan yang swasta. Organisasi keguruan juga
harus lebih concern pada guru-guru
swasta. Jangan sampai guru dan sekolah swasta menjadi mahkluk langka.
Ingat, uang yang dikelola pemerintah itu asalnya dari rakyat
yang kebanyakan swasta.