Thursday, November 26, 2015

Siapa Mau Bela Guru Swasta?



Oleh; Teguh Wahyu Utomo

Jer Basuki Mawa Beya.
Kalau mau makmur, ya tentu perlu biaya. Kalau sudah ada biayanya? Nah, jangan lupa, harus ditebar dengan adil tanpa pilih kasih pada yang berhak menerima.

Ada perobahan yang cukup drastik dalam jagad pendidikan di Indonesia. Lewat perjuangan politik, bukan profesional, akhirnya UUD 45 mengamanatkan 20% APBN diarahkan ke sektor pendidikan. Tiba-tiba, ada uang begitu besar untuk membiayai sistem pendidikan kita.

Bergulirnya uang dari negara selalu menggeser perimbangan pendidikan yang dikelola pemerintah dan pihak swasta. Di masa kolonial, pemerintah Belanda membuka sedikit celah bagi kaum pribumi untuk belajar di sekolah pemerintah dan lembaga swasta (misalnya; Perguruan Taman Siswa) memberi alternatif bagi pendidikan kaum pribumi. Pada era Presiden Soekarno, sistem pendidikan sedang mengalami revolusi dan mencari bentuk.

Era Presiden Soeharto, sekolah negeri banyak namun biayanya ditekan semurah mungkin sehingga terjangkau rakyat namun gaji guru relatif kecil. Sekolah swasta berkembang dan dibolehkan memungut sumbangan dari wali murid. Karena anggaran terbatas, perkembangan sekolah-sekolah negeri dan gurunya juga seperti bonsai. Karena bisa menggalang dana ekstra, lembaga swasta lebih mungkin mengembangkan sekolahnya dan gurunya. Banyak sekolah swasta berkualitas bagus karena banyak dana. Sekolah negeri, untuk bisa berjalan, bahkan ikutan meminta SPP.

Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga sekarang, perimbangannya berbalik. Dengan 20% APBN untuk pendidikan, ada uang banyak sekali digulirkan. Karena kran uangnya dibuka pemerintah, maka sekolah-sekolah negeri dan guru PNS yang mendapat jatah istimewa. Ketika zaman Presiden Soeharto, menjadi guru negeri itu gajinya kecil sehingga ada yang menyindir guru singkatan dari ‘wagu’ dan ‘kuru’. Zaman sekarang, orang justru berebut menjadi guru PNS karena gajinya besar dan dapat tunjangan profesi. Bahkan, PNS lain tidak mendapat tunjangan profesi seperti guru.

Lalu, bagaimana dengan nasib sekolah dan guru swasta zaman sekarang?

Guru swasta bukan PNS ini 40% dari total jumlah guru di Indonesia; atau sekitar 1,3 juta orang. Sekolah swasta kira-kira 25% dari total sekolah di Indonesia. Dan, jumlah guru swasta dan sekolah swasta ini cenderung menurun. Mengapa? Sejumlah sekolah swasta sudah ditutup atau dimerger agar jumlah muridnya cukup. Sejumlah guru swasta yang muda pindah ke profesi lain yang uangnya cukup. Sejumlah guru swasta yang berusia lanjut mencoba bertahan.

Padahal, banyak guru dan sekolah swasta zaman dulu mutunya tidak kalah dibanding guru atau sekolah negeri. Produk yang dihasilkan oleh guru dan sekolah swasta banyak yang tak kalah bagus dibandingkan produk guru dan sekolah negeri. Kontribusi guru dan sekolah swasta di masyarkat bawah sangat mengakar. Namun, saat ini, sebagian besar guru dan sekolah swasta dianggap sebagai ‘kelas dua’ di bawah guru atau sekolah negeri. Semua ini gara-gara ‘jer basuki mawa beya’ tadi.

Sekolah negeri, karena sudah mendapat dana dari pemerintah, bisa berburu murid. Anak yang macul membantu ayahnya di sawah langsung dijemput untuk sekolah. Gratis. Kalau sudah digratiskan, lalu bagaimana jatah sekolah swasta? Biasanya, sekolah swasta memungut sisa-sisa murid yang tidak bisa masuk negeri. Sekarang, jatah yang harusnya bisa dipungut itu sudah tersedot ke sekolah negeri yang makin banyak dan gratis.

Guru swasta bukan PNS yang sudah mengabdi lebih dari lima tahun bergaji jauh di bawah guru berstatus PNS dengan masa pengabdian yang sama. Padahal, soal mutu dan integritas, dua jenis guru itu bisa diadu. Masalahnya, bila ada peluang pelatihan, peningkatan status, dan sejenisnya, guru-guru negeri lebih diprioritaskan daripada guru swasta. Tak pelak, yang lebih dulu (sehingga lebih banyak) mendapatkan sertifikasi adalah guru negeri daripada guru swasta.

Bila pendidikan disepakati sebagai jalan menuju kehidupan yang sejahtera, maka kualitas sekolah dan guru harus sama-sama diperbaiki. Tidak boleh ada kastanisasi. Pemerintah dan dinas pendidikan jangan pilih kasih mendahulukan yang negeri dan meninggalkan yang swasta. Organisasi keguruan juga harus lebih concern pada guru-guru swasta. Jangan sampai guru dan sekolah swasta menjadi mahkluk langka.

Ingat, uang yang dikelola pemerintah itu asalnya dari rakyat yang kebanyakan swasta.

Penulis adalah praktisi media, berbagi ilmu untuk mahasiswa UPN Veteran Jatim, memberi pelatihan motivasional untuk umum, bisa dihubungi di 081332539032 atau cilukbha@gmail.com

Thursday, October 15, 2015

Yuk, Ajari Siswa Social Skill



Oleh; Teguh Wahyu Utomo

Bukan rahasia lagi; nilai terbaik di rapor tidak menjamin anak menjadi orang sukses di masa dewasa; prestasi akademik terbaik di sekolah tidak selalu menghasilkan manusia-manusia terbaik di masa mendatang.

Tak usah ditanyakan lagi; anak yang punya social skill cenderung punya kelebihan signifikan di dalam hidup. Tidak hanya bisa menikmati hubungan positif dalam keseharian, tapi juga cenderung bisa lebih baik di sekolah, memiliki imaji-diri yang lebih baik, lebih percaya diri, dan lebih ulet menghadapi berbgaai tantangan hidup.

Bagaimana dengan murid-murid kita?

Beberapa anak dilahirkan dengan membawa bakat gampang bersosialisasi. Anak yang lain justru susah mengetahui cara agar bisa diterima pihak lain secara sosial. Ada anak yang gampang mencari teman; ada yang sering menyendiri. Ada anak yang mudah mengontrol diri, ada pula yang gampang marah meledak-ledak. Ada yang berbakat memimpin, ada juga yang justru menarik diri.

Banyak aspek perkembangan sosial anak yang memang sudah jadi bawaan orok. Tapi, jangan lupa, lingkungan juga punya peran penting dalam membentuk perkembangan sosial anak. Nah, peran guru jadi sangat penting di sini. Lebih-lebih, anak menghabiskan waktu cukup signifikan di sekolah.

Belakangan, makin banyak pakar psikologi dan psikiatri mendesak bahwa social skills bisa dan harus diajarkan pada anak. Banyak studi membuktikan anak pemalu bisa diajari menjadi anak percaya diri dan mudah bergaul, anak agresif bisa diajari untuk mengontrol diri, hingga anak tertutup bisa diajari untuk berteman.

Ada banyak hal dan metode yang bisa diajarkan agar anak memiliki social skill. Salah satu yang sering dijadikan landasan bagi kesuksesan sosial adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif. Skill komunikasi ini terdiri dari banyak kemampuan. Guru harus sering mengasah aktivitas ini untuk membantu anak-anak berkomunikasi dengan pihak lain dan bersikap baik sehingga membentuk persahabatan kuat.

Komunikasi sosial ini juga ‘bahasa’. Anak-anak dilahirkan dengan kemampuan berbeda untuk mempelajari ‘bahasa’ itu, sebagaimana mereka mempelajari bidang lain. Namun, yang pasti, komunikasi efektif bisa diajarkan dengan banyak latihan dan dorongan yang membesarkan hati anak.

Misalnya, dorong anak untuk memahami lalu mengekspresikan apa yang membuat dirinya unik dibanding anak-anak lain. Ajari anak untuk mengungkapkan keinginan, minat, nilai-nilai, hingga permasalahan yang dihadapi. Dengan berani mengungkapkan perasaan diri, anak akan bisa meningkatkan rasa percaya diri dan rasa menerima diri.

Lalu, bantu anak belajar berhubungan dengan anak lain. Ajari anak memperkenalkan diri, mengembangkan dialog personal dengan anak lain, dan kemudian menjaga pembicaraan saat berada dalam kelompok bersama anak-anak lainnya.

Anak yang tidak punya social skills sering kali memilih cara keliru atau tidak efektif saat berinteraksi dengan anak lain. Ia mungkin menarik diri atau meminta perhatian penuh dari pihak lain. Dua sisi ektrim itu hanya akan menghasilkan penolakan dari pihak lain atau kelompok anak.

Maka, ajari anak cara-cara berkomunikasi yang baik agar bisa diterima secara sosial. Ajari tata-krama, unggah-ungguh. Tidak hanya bisa diterima oleh anak-anak lain sebaya, ia juga pasti bisa diterima bergaul dengan kalangan orang dewasa.

Bukan cuma bahasa atau kata yang diucapkan, tapi ajari juga bagaimana cara mengucapkannya. Itu karena yang nonverbal punya dampak lebih signifikan daripada yang verbal. Orang cenderung memperhatikan bukan sekadar kata yang diucapkan tapi lebih ke bagaimana kata-kata itu diucapkan.

Ada anak yang berbakat komunikasi nonverbal. Ia secara naluriah tahu kapan dan bagaimana mengungkapkan perasaan, dan tahu bagaimana ‘membaca’ perasaan anak lain. Ada anak lain yang tidak pandai berkomunikasi nonverbal. Kata-katanya baik, namun cara mengucapkannya bisa membuat anak lain sakit hati.

Beberapa pakar psikologi menyebut 10% dari total populasi anak punya masalah dengan kemampuan nonverbal ini, yang bisa dikait-kaitkan dengan masalah sosial, emosional, hingga perilaku. Anak-anak semacam ini layak mendapat pembelajaran dan pelatihan khusus agar kelak bisa lebih bisa bersosialisasi di kehidupan nyata saat dewasa.

Penulis adalah praktisi media, berbagi dengan mahasiswa di UPN ‘Veteran’ Jatim, berbagi dengan umum di berbagai pelatihan motivasional, dan bisa dihubungi di 081332539032 atau cilukbha@gmail.com

Friday, October 9, 2015

Guru dan Nilai-nilai Kemanusiaan



Oleh; Teguh Wahyu Utomo

Ini topik yang berat.

Guru, yang digaji pemerintah atau orangtua atau sumber lain, boleh dikata menjadi bagian sangat penting dalam sistem pendidikan. Guru menjadi ‘kawah candradimuka’ bagi penggemblengan otak, mental, karakter, dan fisik murid. Guru juga menghasilkan banyak sekali lulusan ke masyarakat. Teknisi terbaik, dokter terhebat, ekonom terpintar, semuanya bersumber dari didikan para guru.

Tapi, tunggu. Jangan keburu bangga lebih dulu. Sekarang mari kita lihat sisi lainnya. Mari kita simak berita-berita di media massa.

Ada berapa koruptor yang sedang digunjingkan atau sudah diproses pihak berwajib? Ada berapa begal yang melakukan aksi kejahatan atau yang sudah ditaklukkan polisi? Ada berapa orang yang tampak terhormat tapi terekspos sedang melakukan aib? Ada berapa pembunuh, teroris, penipu, penganggu yang berkeliaran atau yang sudah dibereskan? Ada berapa orang yang menyusahkan orang lain atau masyarakat atau bahkan menyusahkan negara? Ada berapa orang yang mengganggu manusia, alam, dan jagad raya?

Boleh dikata, semua pelanggar nilai-nilai kemanusiaan itu adalah murid yang pernah berguru. Semua pernah belajar di berbagai bentuk sekolahan. Semua pernah belajar pada guru. Sebagian dari mereka bahkan berpendidikan level tinggi, atau bahkan sangat tinggi.

Dengan semakin banyaknya sekolah, dengan semakin banyaknya guru, dengan semakin banyaknya lulusan, apakah masyarakat sekarang menjadi lebih baik daripada masyarakat terdahulu? Mengapa banyaknya lulusan cerdas, pintar, berkualitas, yang dihasilkan guru setiap tahun tidak selalu membuat kondisi masyarakat menjadi semakin baik? 

Memang, buruknya kondisi di masyarakat tidak sepenuhnya tanggung-jawab guru. Sangat keliru jika dikatakan guru-guru menghasilkan lulusan yang tidak mampu memperbaiki kondisi masyarakat. Tidak benar jika disebut guru belum berkontribusi dalam pembentukan masyarakat yang baik. Setelah lulus dari sekolah dan lepas dari guru, setiap individu berinteraksi dengan realita di lapangan yang bisa membuatnya jadi manusia baik atau manusia buruk.

Namun, setidaknya guru-guru zaman sekarang bisa bercermin pada mahanya mahaguru yang pernah hidup. Yesus Kristus, yang lahir dari keluarga miskin dan tak punya pendidikan formal, ternyata ajarannya diikuti begitu banyak manusia. Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, yang lahir yatim dan buta huruf, ternyata ajarannya diikuti bahkan hingga akhir zaman. Sri Ramakrishna Paramahasma, yang sederhana dari kuil Dakshineshwar dekat Kolkata di India, bisa memberikan nasihat mulia sehingga para intelektual dan penguasa pun mau mendengarnya.
Berdasarkan keyakinan masing-masing, silakan pilih mahanya mahaguru itu sebagai teladan.

Mahanya mahaguru itu tidak berpendidikan tinggi seperti yang ada dalam standar masa kini. Tidak kuliah pascasarjana sehingga mendapatkan gelar Doktor atau Ph.D. Namun, mereka bisa meninggalkan jejak dalam sejarah kemanusiaan sebagai peletak dasar-dasar moral kebaikan.

Apa yang membuat mahanya mahaguru itu begitu hebat dalam memberi pendidikan pada masyarakat? Salah satu jawabannya adalah, mahanya mahaguru itu mempersonifikasikan nilai-nilai tertentu. Bukan hanya mengajarkan, mahanya mahaguru itu juga mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Lurus, tegas, teguh dan tidak akan tergeser meski ada cobaan sangat besar.
Misalnya; sebelum mengajarkan kejujuran, mahanya mahaguru itu sudah hidup jujur lebih dulu. Tak peduli kondisinya bagaimana, mahanya mahaguru itu bersikap dan berperilaku jujur. Ini lah yang membuat manusia meneladaninya.

Apakah kita bisa menjadi guru seperti mahanya mahaguru itu? Tentu tidak. Kapasitas personal dan mental kita memang jauh di bawah mahanya mahaguru. Namun, setidaknya, kita konsisten meniru style mahanya mahaguru. Meski tidak mungkin menyamainya, setidaknya kita mengikutinya.

Mahanya mahaguru itu mengajarkan antara lain nilai-nilai kemanusiaan untuk menjalani hidup di dunia ini. Apa saja nilai-nilai kemanusiaan itu? Ada banyak. Contohnya antara lain; kejujuran, kebenaran, kebaikan, kebersihan, cinta kasih, pelayanan, sedekah, pengorbanan, kebersamaan, ringan tangan untuk menolong, menghargai pihak lain, hingga berbagi senyum.

Mari kita lihat apakah kita sudah menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan itu pada diri kita sendiri. Mari kita renungkan apakah kita sudah konsisten mengikuti mahanya mahaguru. Bila sudah, kita akan lebih gampang mengajarkan nilai-nilai kemanusaiaan pada murid-murid sehingga kelak akan membawa masyarakat menjadi lebih baik. Kita akan menjadi tauladan yang baik.

* Penulis adalah praktisi media massa, berbagi pengalaman dan pengetahuan di UPN Veteran Jatim, berbagi dengan umum di berbagai pelatihan motivasional, dan bisa dihubungi lewat 081332539032 atau cilukbha@gmail.com atau https://www.facebook.com/teguh.w.utomo

Wednesday, August 26, 2015

Menulis Itu Jangan Pakai Otak


Tidak seperti biasanya, 25 guru yang berkumpul di ruang laborat SMPN 2 Pakis itu tenang sekali. Nyaris tidak ada suara, tidak ada gerak, apa lagi gelak tawa. Yang terdengar hanya suara tuts pada keyboard laptop yang dipencet sejumlah jemari berkali-kali.
 

Ah, rupanya para guru ini sedang menulis. Bukan RPP, PTK atau yang sejenisnya, mereka sedang serius menuliskan pengalaman lucu dalam kehidupan sehari-hari di seputar sekolah. Ya, serius menulis pengalaman lucu! Ada yang menulis pengalaman tentang murid yang ketiduran, tentang kentut bermasalah, dan lain-lain.
 

Untuk memecah kesunyian, saya berjalan keliling, dengan dua tangan di belakang pinggang, lalu menyapa dengan pertanyaan, “Ada yang merasa kesulitan?” 

Tidak ada yang menjawab. Boleh dikata, semua guru cenderung menundukkan kepala, memandangkan mata ke layar laptop, dan menari-narikan jemari di atas keyboard.
 

Ketika waktu deadline menulis sudah tiba, masa hening itu langsung berubah. Ada suara desah nafas lega. Ada yang nyambi minum kopi atau nyemil gorengan. Ada yang ngobrol dengan teman di bangku sebelah. Suasana jadi lebih cair, santai, dengan beberapa obrolan gayeng.
 

Saat suasana sudah cair, saya kembali menyampaikan materi pelatihan penulisan. Saya memaparkan cara memotivasi diri untuk mau menulis, beberapa teknik menulis yang enak, serta bagaimana menulis yang pas untuk dimuat di media massa. Saya juga menjawab beberapa pertanyaan peserta pelatihan.
 

“Yang penting itu menulis jangan pakai otak,” kata saya. 

“Lho, koq tidak boleh pakai otak? Ya iya, lah. Kalau pakai otak, kita tidak akan bisa menulis tapi hanya bisa mikir terus. Menulis itu harusnya pakai jari. Begitu jari digerakkan, bisa terwujud tulisan. Otak yang berfikir, jari yang menuliskan.”
 

Dalam pelatihan guru kreatif bertema ‘Menulis Itu Tidak Sulit’, isinya tidak hanya ceramah dan praktik. Dalam salah satu sesi, hasil tulisan para guru di layar perak langsung dibahas bersama. Agar suasana makin hidup, yang menilai tulisan guru bukan cuma saya tapi juga para guru itu sendiri.
 

Ketika ada satu artikel opini dibahas, seorang guru senior Bahasa Indonesia menunjukkan beberapa kelemahan penulisan. “Ada banyak pengulangan kata dalam tulisan ini. Harusnya bisa dibuat lebih singkat dan lebih bernas dengan cara membuang kata atau kalimat yang tidak mengandung arti.”
 

Saya langsung mengangguk menyetuui.

Pelatihan ini berlangsung atas kerjasama empat pihak; Dinas Pendidikan Kabupaten Malang, SMP Negeri 2 Pakis Kabupaen Malang, Majalah Pendidikan CERDAS, serta Education for Everyone (EforE). Tujuan pelatihan ini untuk memotivasi guru menjadi suka menulis sehingga kelak diharapkan terbiasa menulis.
 


Ingin mendapatkan pelatihan menulis dengan cara menyenangkan semacam ini? 

Silakan saja kontak Teguh Wahyu Utomo di 081332539032 atau cilukbha@gmail.com.

Sunday, August 23, 2015

7 Prinsip Dasar Smart-Learning




Oleh; Teguh Wahyu Utomo

Ada buku menarik tentang pembelajaran cerdas. Buku yang ditulis Susan A. Ambrose, Michael W. Bridges, Michele DiPietro, Marsha C. Lovett, Marie K. Norman, dengan pengantar Richard E. Mayer ini cocok diterapkan di sini. Buku terbitan April 2010 ini didasarkan riset di bidang ilmu psikologi, ilmu kependidikan, dan ilmu kognitif.

Prinsip berlajar-mengajar yang berpusat pada peserta didik bisa menjadi patokan uji bagi pedagogi model apa pun. Kontribusi terpenting yang bisa ditawarkan guru adalah bagaimana memahami proses pembelajaran. Buku berjudul “How Learning Works: Seven Research-Based Principles for Smart Teaching,” ini mengungkap prinsip-prinsip yang memfasilitasi proses belajar.

Pertama, pengetahuan sebelumnya dapat membantu atau menghalangi pembelajaran siswa.

Siswa datang ke tempat belajar tentu dengan pengetahuan, keyakinan, dan sikap yang sudah diperoleh dari tempat lain dan dari kehidupan sehari-hari. Dengan pengetahuan sebelumnya ini, siswa secara naluriah menyaring dan menginterpretasikan apa yang mereka pelajari di tempat belajar saat ini. Jika pengetahuan sebelumnya sudah cukup kuat dan akurat lalu diaktifkan pada saat tepat, ini memberi dasar kuat untuk membangun pengetahuan baru. Namun, ketika pengetahuan sebelumnya itu masih lemah, tidak diaktifkan dengan tepat, atau tidak akurat, maka itu dapat mengganggu atau menghambat pembelajaran baru.

Kedua, cara siswa mengelola pengetahuan sangat mempengaruhi bagaimana mereka belajar dan menerapkan apa yang mereka ketahui.

Siswa secara alami mencari dan membuat hubungan antara berbagai potongan pengetahuan. Ketika penghubungan itu membentuk struktur pengetahuan yang tertata dengan akurat dan bermakna, maka siswa lebih mampu mengambil dan menerapkan pengetahuan secara efektif dan efisien. Sebaliknya, ketika potongan-potongan pengetahuan terhubung dengan cara tidak akurat atau acak-acakan, siswa sangat mungkin gagal mengambilnya atau menerapkannya dengan tepat.

Ketiga, motivasi belajar siswa menentukan, mengarahkan, dan memelihara bagaimana perilaku mereka belajar.

Saat siswa memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi dan mendapatkan otonomi lebih besar tentang apa, kapan, dan bagaimana mereka belajar, maka motivasi memainkan peran penting dalam membimbing intensitas, ketekunan, dan kualitas belajar. Ketika siswa menemukan nilai positif dalam pembelajaran, maka mereka sangat mungkin berhasil mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Saat merasa mendapat dukungan dari lingkungan, murid cenderung sangat termotivasi untuk belajar.
 

Keempat, siswa harus memperoleh keterampilan-keterampilan, melatih diri mengintegrasikannya, dan tahu kapan menerapkan apa yang telah dipelajari.

Siswa harus mengembangkan keterampilan dan pengetahuan untuk tugas-tugas rumit. Selain itu, mereka juga harus berlatih mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan untuk mengembangkan kefasihan. Ibaratnya, di luar kepala. Setelah itu, siswa harus belajar kapan dan bagaimana menerapkan keterampilan dan pengetahuan itu. Maka, guru harus bisa mengembangkan kesadaran unsur-unsur penguasaan pengetahuan dan ketrampilan ini sehingga dapat membantu siswa belajar lebih efektif.

Kelima, praktik pembelajaran yang diarahkan pada tujuan, ditambah dengan umpan balik yang ditargetkan, bisa meningkatkan kualitas belajar siswa.

Pembelajaran dan kinerja bisa terpupuk dengan sangat baik ketika siswa terlibat dalam praktik-praktik yang berfokus pada tujuan atau kriteria tertentu, menargetkan tingkat tantangan yang tepat, dan punya jumlah atau frekuensi yang cukup untuk memenuhi kriteria kinerja. Praktik-praktik harus dipadukan dengan umpan-balik yang secara eksplisit mengkomunikasikan tentang beberapa aspek dari kinerja relatif siswa terhadap kriteria target khusus. Ini bisa membuat siswa jadi tahu apakah sudah bisa memenuhi kriteria berdasarkan waktu atau frekuensi tertentu untuk bisa bermanfaat.
 

Keenam, tingkat perkembangan interaksi siswa dengan kondisi sosial, emosional, dan intelektual di tempat pembelajaran bisa mempengaruhi kondisi belajar.

Siswa itu bukan hanya makhluk intelektual tapi juga makhluk sosial dan emosional. Mereka masih dalam proses mengembangkan berbagai keterampilan intelektual, sosial, dan emosional. Guru tidak bisa mengendalikan seluruh proses perkembangan itu. Tapi, setidaknya, guru dapat membantu membentuk aspek intelektual, sosial, emosional, suasana dan fisik dari tempat pembelajaran agar sesuai tahapan perkembangan pembelajaran siswa. Banyak penelitian menunjukkan bahwa suasana yang dibuat guru di tempat pembelajaran memiliki implikasi besar bagi siswa. Iklim negatif dapat menghambat pembelajaran dan kinerja, tetapi iklim positif dapat memberikan energi belajar pada siswa.

Ketujuh, untuk menjadi pembelajar mandiri maka siswa harus belajar memantau dan menyesuaikan cara pendekatan mereka untuk belajar.

Peserta didik dapat terlibat dalam berbagai proses metakognitif untuk memantau dan mengontrol cara belajar mereka sendiri; dengan menilai tugas-tugas yang dihadapi, mengevaluasi kekuatan dan kelemahan sendiri, merencanakan cara pendekatan sendiri terhadap subyek, menerapkan dan memantau berbagai strategi, dan merefleksikan sejauh mana keberhasilan pendekatan mereka. Masalahnya, siswa cenderung tidak terlibat dalam proses sedemikian ini secara alami. Kalau siswa mengembangkan keterampilan untuk terlibat dalam proses ini, mereka bakal memperoleh kebiasaan intelektual yang tidak hanya meningkatkan kinerja tetapi juga efektivitas sebagai peserta didik. Nah, guru bertugas membantu membimbing mereka lebih terlibat.




penulis adalah praktisi media massa, berbagi pengetahuan di UPN Veteran Jatim, dan penceramah untuk umum; bisa dihubungi di 081332539032 atau cilukbha@gmail.com