Sunday, August 23, 2015

7 Prinsip Dasar Smart-Learning




Oleh; Teguh Wahyu Utomo

Ada buku menarik tentang pembelajaran cerdas. Buku yang ditulis Susan A. Ambrose, Michael W. Bridges, Michele DiPietro, Marsha C. Lovett, Marie K. Norman, dengan pengantar Richard E. Mayer ini cocok diterapkan di sini. Buku terbitan April 2010 ini didasarkan riset di bidang ilmu psikologi, ilmu kependidikan, dan ilmu kognitif.

Prinsip berlajar-mengajar yang berpusat pada peserta didik bisa menjadi patokan uji bagi pedagogi model apa pun. Kontribusi terpenting yang bisa ditawarkan guru adalah bagaimana memahami proses pembelajaran. Buku berjudul “How Learning Works: Seven Research-Based Principles for Smart Teaching,” ini mengungkap prinsip-prinsip yang memfasilitasi proses belajar.

Pertama, pengetahuan sebelumnya dapat membantu atau menghalangi pembelajaran siswa.

Siswa datang ke tempat belajar tentu dengan pengetahuan, keyakinan, dan sikap yang sudah diperoleh dari tempat lain dan dari kehidupan sehari-hari. Dengan pengetahuan sebelumnya ini, siswa secara naluriah menyaring dan menginterpretasikan apa yang mereka pelajari di tempat belajar saat ini. Jika pengetahuan sebelumnya sudah cukup kuat dan akurat lalu diaktifkan pada saat tepat, ini memberi dasar kuat untuk membangun pengetahuan baru. Namun, ketika pengetahuan sebelumnya itu masih lemah, tidak diaktifkan dengan tepat, atau tidak akurat, maka itu dapat mengganggu atau menghambat pembelajaran baru.

Kedua, cara siswa mengelola pengetahuan sangat mempengaruhi bagaimana mereka belajar dan menerapkan apa yang mereka ketahui.

Siswa secara alami mencari dan membuat hubungan antara berbagai potongan pengetahuan. Ketika penghubungan itu membentuk struktur pengetahuan yang tertata dengan akurat dan bermakna, maka siswa lebih mampu mengambil dan menerapkan pengetahuan secara efektif dan efisien. Sebaliknya, ketika potongan-potongan pengetahuan terhubung dengan cara tidak akurat atau acak-acakan, siswa sangat mungkin gagal mengambilnya atau menerapkannya dengan tepat.

Ketiga, motivasi belajar siswa menentukan, mengarahkan, dan memelihara bagaimana perilaku mereka belajar.

Saat siswa memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi dan mendapatkan otonomi lebih besar tentang apa, kapan, dan bagaimana mereka belajar, maka motivasi memainkan peran penting dalam membimbing intensitas, ketekunan, dan kualitas belajar. Ketika siswa menemukan nilai positif dalam pembelajaran, maka mereka sangat mungkin berhasil mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Saat merasa mendapat dukungan dari lingkungan, murid cenderung sangat termotivasi untuk belajar.
 

Keempat, siswa harus memperoleh keterampilan-keterampilan, melatih diri mengintegrasikannya, dan tahu kapan menerapkan apa yang telah dipelajari.

Siswa harus mengembangkan keterampilan dan pengetahuan untuk tugas-tugas rumit. Selain itu, mereka juga harus berlatih mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan untuk mengembangkan kefasihan. Ibaratnya, di luar kepala. Setelah itu, siswa harus belajar kapan dan bagaimana menerapkan keterampilan dan pengetahuan itu. Maka, guru harus bisa mengembangkan kesadaran unsur-unsur penguasaan pengetahuan dan ketrampilan ini sehingga dapat membantu siswa belajar lebih efektif.

Kelima, praktik pembelajaran yang diarahkan pada tujuan, ditambah dengan umpan balik yang ditargetkan, bisa meningkatkan kualitas belajar siswa.

Pembelajaran dan kinerja bisa terpupuk dengan sangat baik ketika siswa terlibat dalam praktik-praktik yang berfokus pada tujuan atau kriteria tertentu, menargetkan tingkat tantangan yang tepat, dan punya jumlah atau frekuensi yang cukup untuk memenuhi kriteria kinerja. Praktik-praktik harus dipadukan dengan umpan-balik yang secara eksplisit mengkomunikasikan tentang beberapa aspek dari kinerja relatif siswa terhadap kriteria target khusus. Ini bisa membuat siswa jadi tahu apakah sudah bisa memenuhi kriteria berdasarkan waktu atau frekuensi tertentu untuk bisa bermanfaat.
 

Keenam, tingkat perkembangan interaksi siswa dengan kondisi sosial, emosional, dan intelektual di tempat pembelajaran bisa mempengaruhi kondisi belajar.

Siswa itu bukan hanya makhluk intelektual tapi juga makhluk sosial dan emosional. Mereka masih dalam proses mengembangkan berbagai keterampilan intelektual, sosial, dan emosional. Guru tidak bisa mengendalikan seluruh proses perkembangan itu. Tapi, setidaknya, guru dapat membantu membentuk aspek intelektual, sosial, emosional, suasana dan fisik dari tempat pembelajaran agar sesuai tahapan perkembangan pembelajaran siswa. Banyak penelitian menunjukkan bahwa suasana yang dibuat guru di tempat pembelajaran memiliki implikasi besar bagi siswa. Iklim negatif dapat menghambat pembelajaran dan kinerja, tetapi iklim positif dapat memberikan energi belajar pada siswa.

Ketujuh, untuk menjadi pembelajar mandiri maka siswa harus belajar memantau dan menyesuaikan cara pendekatan mereka untuk belajar.

Peserta didik dapat terlibat dalam berbagai proses metakognitif untuk memantau dan mengontrol cara belajar mereka sendiri; dengan menilai tugas-tugas yang dihadapi, mengevaluasi kekuatan dan kelemahan sendiri, merencanakan cara pendekatan sendiri terhadap subyek, menerapkan dan memantau berbagai strategi, dan merefleksikan sejauh mana keberhasilan pendekatan mereka. Masalahnya, siswa cenderung tidak terlibat dalam proses sedemikian ini secara alami. Kalau siswa mengembangkan keterampilan untuk terlibat dalam proses ini, mereka bakal memperoleh kebiasaan intelektual yang tidak hanya meningkatkan kinerja tetapi juga efektivitas sebagai peserta didik. Nah, guru bertugas membantu membimbing mereka lebih terlibat.




penulis adalah praktisi media massa, berbagi pengetahuan di UPN Veteran Jatim, dan penceramah untuk umum; bisa dihubungi di 081332539032 atau cilukbha@gmail.com

No comments:

Post a Comment