Thursday, October 15, 2015

Yuk, Ajari Siswa Social Skill



Oleh; Teguh Wahyu Utomo

Bukan rahasia lagi; nilai terbaik di rapor tidak menjamin anak menjadi orang sukses di masa dewasa; prestasi akademik terbaik di sekolah tidak selalu menghasilkan manusia-manusia terbaik di masa mendatang.

Tak usah ditanyakan lagi; anak yang punya social skill cenderung punya kelebihan signifikan di dalam hidup. Tidak hanya bisa menikmati hubungan positif dalam keseharian, tapi juga cenderung bisa lebih baik di sekolah, memiliki imaji-diri yang lebih baik, lebih percaya diri, dan lebih ulet menghadapi berbgaai tantangan hidup.

Bagaimana dengan murid-murid kita?

Beberapa anak dilahirkan dengan membawa bakat gampang bersosialisasi. Anak yang lain justru susah mengetahui cara agar bisa diterima pihak lain secara sosial. Ada anak yang gampang mencari teman; ada yang sering menyendiri. Ada anak yang mudah mengontrol diri, ada pula yang gampang marah meledak-ledak. Ada yang berbakat memimpin, ada juga yang justru menarik diri.

Banyak aspek perkembangan sosial anak yang memang sudah jadi bawaan orok. Tapi, jangan lupa, lingkungan juga punya peran penting dalam membentuk perkembangan sosial anak. Nah, peran guru jadi sangat penting di sini. Lebih-lebih, anak menghabiskan waktu cukup signifikan di sekolah.

Belakangan, makin banyak pakar psikologi dan psikiatri mendesak bahwa social skills bisa dan harus diajarkan pada anak. Banyak studi membuktikan anak pemalu bisa diajari menjadi anak percaya diri dan mudah bergaul, anak agresif bisa diajari untuk mengontrol diri, hingga anak tertutup bisa diajari untuk berteman.

Ada banyak hal dan metode yang bisa diajarkan agar anak memiliki social skill. Salah satu yang sering dijadikan landasan bagi kesuksesan sosial adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif. Skill komunikasi ini terdiri dari banyak kemampuan. Guru harus sering mengasah aktivitas ini untuk membantu anak-anak berkomunikasi dengan pihak lain dan bersikap baik sehingga membentuk persahabatan kuat.

Komunikasi sosial ini juga ‘bahasa’. Anak-anak dilahirkan dengan kemampuan berbeda untuk mempelajari ‘bahasa’ itu, sebagaimana mereka mempelajari bidang lain. Namun, yang pasti, komunikasi efektif bisa diajarkan dengan banyak latihan dan dorongan yang membesarkan hati anak.

Misalnya, dorong anak untuk memahami lalu mengekspresikan apa yang membuat dirinya unik dibanding anak-anak lain. Ajari anak untuk mengungkapkan keinginan, minat, nilai-nilai, hingga permasalahan yang dihadapi. Dengan berani mengungkapkan perasaan diri, anak akan bisa meningkatkan rasa percaya diri dan rasa menerima diri.

Lalu, bantu anak belajar berhubungan dengan anak lain. Ajari anak memperkenalkan diri, mengembangkan dialog personal dengan anak lain, dan kemudian menjaga pembicaraan saat berada dalam kelompok bersama anak-anak lainnya.

Anak yang tidak punya social skills sering kali memilih cara keliru atau tidak efektif saat berinteraksi dengan anak lain. Ia mungkin menarik diri atau meminta perhatian penuh dari pihak lain. Dua sisi ektrim itu hanya akan menghasilkan penolakan dari pihak lain atau kelompok anak.

Maka, ajari anak cara-cara berkomunikasi yang baik agar bisa diterima secara sosial. Ajari tata-krama, unggah-ungguh. Tidak hanya bisa diterima oleh anak-anak lain sebaya, ia juga pasti bisa diterima bergaul dengan kalangan orang dewasa.

Bukan cuma bahasa atau kata yang diucapkan, tapi ajari juga bagaimana cara mengucapkannya. Itu karena yang nonverbal punya dampak lebih signifikan daripada yang verbal. Orang cenderung memperhatikan bukan sekadar kata yang diucapkan tapi lebih ke bagaimana kata-kata itu diucapkan.

Ada anak yang berbakat komunikasi nonverbal. Ia secara naluriah tahu kapan dan bagaimana mengungkapkan perasaan, dan tahu bagaimana ‘membaca’ perasaan anak lain. Ada anak lain yang tidak pandai berkomunikasi nonverbal. Kata-katanya baik, namun cara mengucapkannya bisa membuat anak lain sakit hati.

Beberapa pakar psikologi menyebut 10% dari total populasi anak punya masalah dengan kemampuan nonverbal ini, yang bisa dikait-kaitkan dengan masalah sosial, emosional, hingga perilaku. Anak-anak semacam ini layak mendapat pembelajaran dan pelatihan khusus agar kelak bisa lebih bisa bersosialisasi di kehidupan nyata saat dewasa.

Penulis adalah praktisi media, berbagi dengan mahasiswa di UPN ‘Veteran’ Jatim, berbagi dengan umum di berbagai pelatihan motivasional, dan bisa dihubungi di 081332539032 atau cilukbha@gmail.com

Friday, October 9, 2015

Guru dan Nilai-nilai Kemanusiaan



Oleh; Teguh Wahyu Utomo

Ini topik yang berat.

Guru, yang digaji pemerintah atau orangtua atau sumber lain, boleh dikata menjadi bagian sangat penting dalam sistem pendidikan. Guru menjadi ‘kawah candradimuka’ bagi penggemblengan otak, mental, karakter, dan fisik murid. Guru juga menghasilkan banyak sekali lulusan ke masyarakat. Teknisi terbaik, dokter terhebat, ekonom terpintar, semuanya bersumber dari didikan para guru.

Tapi, tunggu. Jangan keburu bangga lebih dulu. Sekarang mari kita lihat sisi lainnya. Mari kita simak berita-berita di media massa.

Ada berapa koruptor yang sedang digunjingkan atau sudah diproses pihak berwajib? Ada berapa begal yang melakukan aksi kejahatan atau yang sudah ditaklukkan polisi? Ada berapa orang yang tampak terhormat tapi terekspos sedang melakukan aib? Ada berapa pembunuh, teroris, penipu, penganggu yang berkeliaran atau yang sudah dibereskan? Ada berapa orang yang menyusahkan orang lain atau masyarakat atau bahkan menyusahkan negara? Ada berapa orang yang mengganggu manusia, alam, dan jagad raya?

Boleh dikata, semua pelanggar nilai-nilai kemanusiaan itu adalah murid yang pernah berguru. Semua pernah belajar di berbagai bentuk sekolahan. Semua pernah belajar pada guru. Sebagian dari mereka bahkan berpendidikan level tinggi, atau bahkan sangat tinggi.

Dengan semakin banyaknya sekolah, dengan semakin banyaknya guru, dengan semakin banyaknya lulusan, apakah masyarakat sekarang menjadi lebih baik daripada masyarakat terdahulu? Mengapa banyaknya lulusan cerdas, pintar, berkualitas, yang dihasilkan guru setiap tahun tidak selalu membuat kondisi masyarakat menjadi semakin baik? 

Memang, buruknya kondisi di masyarakat tidak sepenuhnya tanggung-jawab guru. Sangat keliru jika dikatakan guru-guru menghasilkan lulusan yang tidak mampu memperbaiki kondisi masyarakat. Tidak benar jika disebut guru belum berkontribusi dalam pembentukan masyarakat yang baik. Setelah lulus dari sekolah dan lepas dari guru, setiap individu berinteraksi dengan realita di lapangan yang bisa membuatnya jadi manusia baik atau manusia buruk.

Namun, setidaknya guru-guru zaman sekarang bisa bercermin pada mahanya mahaguru yang pernah hidup. Yesus Kristus, yang lahir dari keluarga miskin dan tak punya pendidikan formal, ternyata ajarannya diikuti begitu banyak manusia. Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, yang lahir yatim dan buta huruf, ternyata ajarannya diikuti bahkan hingga akhir zaman. Sri Ramakrishna Paramahasma, yang sederhana dari kuil Dakshineshwar dekat Kolkata di India, bisa memberikan nasihat mulia sehingga para intelektual dan penguasa pun mau mendengarnya.
Berdasarkan keyakinan masing-masing, silakan pilih mahanya mahaguru itu sebagai teladan.

Mahanya mahaguru itu tidak berpendidikan tinggi seperti yang ada dalam standar masa kini. Tidak kuliah pascasarjana sehingga mendapatkan gelar Doktor atau Ph.D. Namun, mereka bisa meninggalkan jejak dalam sejarah kemanusiaan sebagai peletak dasar-dasar moral kebaikan.

Apa yang membuat mahanya mahaguru itu begitu hebat dalam memberi pendidikan pada masyarakat? Salah satu jawabannya adalah, mahanya mahaguru itu mempersonifikasikan nilai-nilai tertentu. Bukan hanya mengajarkan, mahanya mahaguru itu juga mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Lurus, tegas, teguh dan tidak akan tergeser meski ada cobaan sangat besar.
Misalnya; sebelum mengajarkan kejujuran, mahanya mahaguru itu sudah hidup jujur lebih dulu. Tak peduli kondisinya bagaimana, mahanya mahaguru itu bersikap dan berperilaku jujur. Ini lah yang membuat manusia meneladaninya.

Apakah kita bisa menjadi guru seperti mahanya mahaguru itu? Tentu tidak. Kapasitas personal dan mental kita memang jauh di bawah mahanya mahaguru. Namun, setidaknya, kita konsisten meniru style mahanya mahaguru. Meski tidak mungkin menyamainya, setidaknya kita mengikutinya.

Mahanya mahaguru itu mengajarkan antara lain nilai-nilai kemanusiaan untuk menjalani hidup di dunia ini. Apa saja nilai-nilai kemanusiaan itu? Ada banyak. Contohnya antara lain; kejujuran, kebenaran, kebaikan, kebersihan, cinta kasih, pelayanan, sedekah, pengorbanan, kebersamaan, ringan tangan untuk menolong, menghargai pihak lain, hingga berbagi senyum.

Mari kita lihat apakah kita sudah menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan itu pada diri kita sendiri. Mari kita renungkan apakah kita sudah konsisten mengikuti mahanya mahaguru. Bila sudah, kita akan lebih gampang mengajarkan nilai-nilai kemanusaiaan pada murid-murid sehingga kelak akan membawa masyarakat menjadi lebih baik. Kita akan menjadi tauladan yang baik.

* Penulis adalah praktisi media massa, berbagi pengalaman dan pengetahuan di UPN Veteran Jatim, berbagi dengan umum di berbagai pelatihan motivasional, dan bisa dihubungi lewat 081332539032 atau cilukbha@gmail.com atau https://www.facebook.com/teguh.w.utomo