Oleh; Teguh Wahyu Utomo
Ini topik yang berat.
Guru, yang digaji pemerintah atau orangtua atau sumber lain,
boleh dikata menjadi bagian sangat penting dalam sistem pendidikan. Guru
menjadi ‘kawah candradimuka’ bagi penggemblengan otak, mental, karakter, dan
fisik murid. Guru juga menghasilkan banyak sekali lulusan ke masyarakat.
Teknisi terbaik, dokter terhebat, ekonom terpintar, semuanya bersumber dari
didikan para guru.
Tapi, tunggu. Jangan keburu bangga lebih dulu. Sekarang mari
kita lihat sisi lainnya. Mari kita simak berita-berita di media massa.
Ada berapa koruptor yang sedang digunjingkan atau sudah
diproses pihak berwajib? Ada berapa begal yang melakukan aksi kejahatan atau
yang sudah ditaklukkan polisi? Ada berapa orang yang tampak terhormat tapi
terekspos sedang melakukan aib? Ada berapa pembunuh, teroris, penipu, penganggu
yang berkeliaran atau yang sudah dibereskan? Ada berapa orang yang menyusahkan
orang lain atau masyarakat atau bahkan menyusahkan negara? Ada berapa orang
yang mengganggu manusia, alam, dan jagad raya?
Boleh dikata, semua pelanggar nilai-nilai kemanusiaan itu
adalah murid yang pernah berguru. Semua pernah belajar di berbagai bentuk
sekolahan. Semua pernah belajar pada guru. Sebagian dari mereka bahkan
berpendidikan level tinggi, atau bahkan sangat tinggi.
Dengan semakin banyaknya sekolah, dengan semakin banyaknya
guru, dengan semakin banyaknya lulusan, apakah masyarakat sekarang menjadi
lebih baik daripada masyarakat terdahulu? Mengapa banyaknya lulusan cerdas,
pintar, berkualitas, yang dihasilkan guru setiap tahun tidak selalu membuat
kondisi masyarakat menjadi semakin baik?
Memang, buruknya kondisi di masyarakat tidak sepenuhnya
tanggung-jawab guru. Sangat keliru jika dikatakan guru-guru menghasilkan
lulusan yang tidak mampu memperbaiki kondisi masyarakat. Tidak benar jika disebut
guru belum berkontribusi dalam pembentukan masyarakat yang baik. Setelah lulus
dari sekolah dan lepas dari guru, setiap individu berinteraksi dengan realita di
lapangan yang bisa membuatnya jadi manusia baik atau manusia buruk.
Namun, setidaknya guru-guru zaman sekarang bisa bercermin
pada mahanya mahaguru yang pernah hidup. Yesus Kristus, yang lahir dari
keluarga miskin dan tak punya pendidikan formal, ternyata ajarannya diikuti
begitu banyak manusia. Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, yang lahir
yatim dan buta huruf, ternyata ajarannya diikuti bahkan hingga akhir zaman. Sri
Ramakrishna Paramahasma, yang sederhana dari kuil Dakshineshwar dekat Kolkata
di India, bisa memberikan nasihat mulia sehingga para intelektual dan penguasa pun
mau mendengarnya.
Berdasarkan keyakinan masing-masing, silakan pilih mahanya
mahaguru itu sebagai teladan.
Mahanya mahaguru itu tidak berpendidikan tinggi seperti yang
ada dalam standar masa kini. Tidak kuliah pascasarjana sehingga mendapatkan
gelar Doktor atau Ph.D. Namun, mereka bisa meninggalkan jejak dalam sejarah
kemanusiaan sebagai peletak dasar-dasar moral kebaikan.
Apa yang membuat mahanya mahaguru itu begitu hebat dalam
memberi pendidikan pada masyarakat? Salah satu jawabannya adalah, mahanya
mahaguru itu mempersonifikasikan nilai-nilai tertentu. Bukan hanya mengajarkan,
mahanya mahaguru itu juga mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Lurus,
tegas, teguh dan tidak akan tergeser meski ada cobaan sangat besar.
Misalnya; sebelum mengajarkan kejujuran, mahanya mahaguru
itu sudah hidup jujur lebih dulu. Tak peduli kondisinya bagaimana, mahanya
mahaguru itu bersikap dan berperilaku jujur. Ini lah yang membuat manusia
meneladaninya.
Apakah kita bisa menjadi guru seperti mahanya mahaguru itu?
Tentu tidak. Kapasitas personal dan mental kita memang jauh di bawah mahanya
mahaguru. Namun, setidaknya, kita konsisten meniru style mahanya mahaguru.
Meski tidak mungkin menyamainya, setidaknya kita mengikutinya.
Mahanya mahaguru itu mengajarkan antara lain nilai-nilai
kemanusiaan untuk menjalani hidup di dunia ini. Apa saja nilai-nilai kemanusiaan
itu? Ada banyak. Contohnya antara lain; kejujuran, kebenaran, kebaikan,
kebersihan, cinta kasih, pelayanan, sedekah, pengorbanan, kebersamaan, ringan
tangan untuk menolong, menghargai pihak lain, hingga berbagi senyum.
Mari kita lihat apakah kita sudah menanamkan dan
mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan itu pada diri kita sendiri. Mari kita renungkan
apakah kita sudah konsisten mengikuti mahanya mahaguru. Bila sudah, kita akan
lebih gampang mengajarkan nilai-nilai kemanusaiaan pada murid-murid sehingga
kelak akan membawa masyarakat menjadi lebih baik. Kita akan menjadi tauladan
yang baik.
* Penulis adalah praktisi media massa,
berbagi pengalaman dan pengetahuan di UPN Veteran Jatim, berbagi dengan umum di
berbagai pelatihan motivasional, dan bisa dihubungi lewat 081332539032 atau cilukbha@gmail.com atau https://www.facebook.com/teguh.w.utomo
No comments:
Post a Comment