“Tejo, apa cita-citamu?” tanya Ibu Guru pada salah seorang muridnya di kelas 2 SD.
“Mau
jadi dokter, Bu,” jawab Tejo.
“Wahhh,
itu cita-cita yang bagus,” kata Ibu Guru. “Tahu bagaimana caranya menjadi
dokter?”
“Tahu,
Bu. Bawa jarum, kalau ada orang lewat langsung disuntik…!”
Oalah, Jo….Tejo…
Cita-citamu koq gak jelas begitu. Masak ada dokter yang asal-asalan suntik
orang lewat.
Menanyakan cita-cita murid itu bagus. Jika cita-cita tertanam dalam-dalam
di benak anak, itu bisa mendorongnya menjalani kehidupan masa datang. Cita-cita
yang kuat akan memberi inspirasi bagi pemikiran dan tindakan anak untuk
mewujudkannya. Bagaikan energi sangat besar yang menggerakkan kehidupannya.
Sayangnya,
tidak banyak anak bisa menetapkan cita-cita dengan tepat. Ketika Tejo
menggambarkan cita-citanya jadi dokter, bisa jadi itu cita-cita orangtuanya
–bukan murni cita-cita dari nurani Tejo. Akibatnya, cita-cita yang tidak tepat
atau tidak dari nurani sendiri itu tidak tertanam jauh di dalam benak anak.
Cita-cita yang tidak jelas membuat anak tidak memburunya di kemudian hari.
Menetapkan
cita-cita tidak boleh asal-asalan, tapi harus difikirkan dengan seksama.
Menetapkan cita-cita itu harus smart.
Jika anak-anak belum bisa menetapkan cita-citanya, maka guru atau orangtua
patut membimbingnya. Dengan bibingan tepat, cita-cita akan lebih jelas dan
nantinya bisa menjadi energi penggerak anak menempuh hidup.
Bagaimana
menetapkan cita-cita? Salah satu caranya dengan indikator S-M-A-R-T. Cita-cita
harus memenuhi indikator sebagai berikut;
- S – Specific or Significant; harus merujuk pada satu hal tertentu yang sangat penting. Misalnya, jadi dokter karena bisa membantu orang miskin yang sakit.
- M – Measurable; harus bisa diukur keberhasilannya. Misalnya; harus lulus Fakultas Kedokteran dan kemudian pendidikan spesialis. Kalau kuliahnya di Sastera, ya jelas tidak bisa jadi dokter.
- A – Attainable atau bisa dijangkau. Untuk pendidikan dokter, biayanya sekian juta. Apa ada? Bagaimana mendapatkannya? Pendidikan dokter juga membutuhkan syarat fisik dan intelektualitas tertentu. Apakah buta warna atau normal? Apakah nilai ujian tertentu bisa mencapai kelulusan?
- R – Relevant atau layak dikejar. Di Indonesia, profesi dokter tentu sangat relevan untuk dikejar. Di negara lain, ada kelebihan dokter sehingga beberapa dokter malah mengembangkan diri menjadi penulis cerita detektif.
- T – Time-bound atau waktunya bisa diperhitungkan. Untuk menjadi dokter spesialis, dibutuhkan pendidikan yang panjang. Mulai dari sekolah dasar lalu sekolah menengah lalu perguruan tinggi hingga pendidikan spesialis. Kalau zaman dokter Soetomo, lulus SD tujuh tahun sudah bisa ikut pendidikan kedokteran. Zaman sekarang, total waktu normal pendidikan bisa 18 tahun sebelum dibolehkan belajar jadi dokter.
Nah,
tentu saja murid kelas 1 SD belum mampu membuat hitung-hitungan semacam ini
sehingga mereka asal-asalan mengungkapkan cita-cita. Kalau sudah kelas 5 atau 6
SD, hitung-hitungannya bisa lumayan jelas. Akan lebih jelas lagi jika si anak
sudah masuk sekolah menengah. Namun, murid memang patut diajari sejak dini
untuk punya cita-cita.
Penulis adalah
praktisi media massa, berbagi pengalaman dan pengetahuan di UPN Veteran Jatim, dan
memberi pelatihan motivasional pada masyarakat umum; bisa dihubungi di
081332539032 atau cilukbha@gmail.com.
Keren pak makasih banyak artikelnya nambah ilmu ini 😊
ReplyDeletehahaha, ya.
ReplyDelete