oleh; Teguh Wahyu Utomo
Tiada kata terlambat untuk mulai belajar di sekolah.
Ini
bukan kiasan penyemangat, namun dijalani sepenuhnya oleh Priscilla Sitienei.
Gogo, begitu nenek buyut berusia 90 tahun itu biasa disebut, masuk ke sekolah
bareng tujuh cicitnya sendiri. Buyut dan cicit jadi teman sekolah.
Lima tahun lalu, Gogo masuk SD Leaders Vision di desa
Ndalat, Rift Valley, Kenya. Sekadar informasi, Kenya terletak di belahan timur
benua Afrika tempat ayah Barrack Obama (presiden Amerika Serikat) lahir. Negeri
ini terkenal atas wisata safari hewan liar besar.
Gogo biasa duduk di bangku depan di kelas bersama
murid-murid usia 10-14 tahun. Mengenakan seragam biru jaket hijau, ia belajar
menuliskan nama-nama binatang dalam bahasa Inggris. Ia juga belajar berhitung,
menyanyi bersama, drama dan ikut pelajaran olahraga.
Sebelumnya, selama 65 tahun, Gogo bekerja sebagai bidan
tradisional desa. Sebagian dari teman-teman sekolahnya adalah bayi-bayi yang ia
ia bantu lahirkan dari ibu masing-masing. Setelah pensiun dari pekerjaan, Gogo
ingin mewujudkan cita-cita lama; bersekolah.
Saat masih kecil, Gogo tidak punya kesempatan belajar
membaca atau menulis di sekolah. Ia dilahirkan saat Kenya masih dijajah
Inggris. Ia tidak bersekolah karena turut perjuangan merebut kemerdekaan.
Setelah Kenya merdeka, keluarganya terlalu miskin untuk memberinya biaya
sekolah.
Ketika pemerintah Kenya menggelar program pendidikan gratis
dan universal, Gogo dan beberapa warga senior lain memanfaatkannya. Namun, saat
mendaftar ke SD Leaders Vision, awalnya ia ditolak karena usia. Dengan
menunjukkan aturan pemerintah, ia pun akhirnya diterima.
Kemudian, justru kepala sekolah David Kinyanjui memujinya.
“Saya bangga padanya. Gogo menjadi berkah buat sekolah ini. Dia penyemangat
murid. Dia juga disayangi semua murid, diajak bermain dan belajar bersama.
Nilai akademisnya lumayan untuk usianya yang sudah tua. Pendeknya, ada
perbedaan besar di sekolah ini sejak kedatangnnya.”
Kenapa sudah usia senja tapi tetap bersekolah? Gogo mengaku,
“Awalnya saya hanya ingin bisa membaca Injil dan menuliskan pengetahuan saya
tentang kebidanan dan jamu-jamuan. Setelah itu, saya ingin menginspirasi
anak-anak, terutama wanita, untuk bersekolah. Ada begitu banyak gadis yang
tidak mau sekolah, tapi malah punya anak. Saya dekati dan tanyai mengapa tidak
sekolah. Mereka bilang karena sudah terlalu tua. Maka, saya bilang pada mereka,
‘Saya saja sekolah, kalian harusnya juga.’ Di desa saya juga ada anak-anak yang
tidak mengenal ayah, liar, menggelandang. Saya juga ajak mereka ke sekolah.”
Seorang murid gadis usia 11 tahun mengaku Gogo teman
terbaik. Kenapa? “Karena ia bisa mendongeng, dan kami bisa berolahraga bersama.” Seorang murid lelaki usia 10 tahun, yang juga cicit Gogo,
bilang buyutnya itu suka membuat kelas jadi teratur. “Kalau kelas gaduh, dia
yang menyuruh kami untuk tenang.”
Gogo memang sering mendongeng pada teman-temannya saat
istirahat di bawah pohon. Sambil mendongeng, ia juga mewariskan adat dan
nilai-nilai tradisional setempat. Ia juga memperkenalkan pengetahuan tentang
jamu-jamu yang bisa didapat dari lingkungan sekitar. Anak-anak biasanya duduk
tenang saat Gogo bercerita.
Tidak ada yang bisa memastikan berapa usia Gogo. Yang pasti, ia menghitung usianya sudah 90 tahun. Jika benar, ia bisa memecahkan rekor dunia murid tertua masuk SD. Yang dicatat Guinness Book of Records adalah Kimani Maruge yang jadi murid SD dalam usia 84 tahun pada 2004. Namun, Kimani Maruge meninggal lima tahun kemudian.
Belajar itu sepanjang hidup. Belajar itu tidak hanya di lembaga pendidikan. Belajar itu pada siapa saja. Belajar itu menyenangkan.
Penulis adalah praktisi media, penulis, penceramah, pendamping penulisan, bisa dihubungi di 081332539032.
No comments:
Post a Comment