![]() |
photo; destech.files.wordpress.com |
Teguh Wahyu Utomo
Rasa ingin tahu itu sangat mungkin terkait usia. Saat masih
usia 3 tahun, anak sangat ingin tahu ini atau itu sehingga aktif bertanya. Saat
usia 13 tahun, anak sudah mulai jarang bertanya di sekolah. Saat usia 23 tahun
di kampus, disuruh bertanya saja malah enggan. Betul, nggak?
Sebenarnya,
sungguh memprihatinkan jika anak sudah mulai tidak tertarik untuk ingin tahu.
Jika sudah tidak agresif ingin menambah pengetahuan, anak bisa kesulitan
berfikir kritis, melakukan kreasi, atau menemukan inovasi. Padahal, semua itu
akan sangat berguna dalam kehidupannya kelak saat dewasa.
Maka, sudah
menjadi kuwajiban orangtua atau guru untuk melatih anak agar selalu ingin tahu dan mendapat pemahaman
baru. Nah, ada metode yang biasa digunakan para ahli untuk memicu siapa saja
mencari pengetahuan baru. Metode itu biasa dinamai 5W+1H+1W. Dengan metode ini,
anak akan banyak bertanya.
Metode 5W+1
H+1W ini berbentuk pertanyaan-pertanyaan dasar yang jawabannya bisa memenuhi
standar pengumpulan informasi lengkap. Pengembangan lebih jauh, metode ini bisa
mengungkap fenomena lebih dalam sehingga anak akan mendapatkan pemahaman.
Metode ini
sudah digunakan para filsuf ahli retorika era Yunani kuno dan Romawi kuno. Namun,
ada rumusan sederhana yang dibuat Rudyard Kipling dalam bukunya Just So Stories (1902). Sebuah puisi
yang menyertai kisah ‘The Elephant's
Child’ dibuka dengan:
I keep six honest serving-men
They taught me all I knew;
Their names are What and Why and When
And How and Where and Who
Terjemahan
kasarnya kira-kira; Saya punya enam sahabat jujur; yang mengajari saya apa saja.
Nama mereka adalah ‘Apa’ dan ‘Mengapa’ dan Kapan’, serta ‘Bagaimana’ dan ‘Di
Mana’ dan ‘Siapa’.
Who, What, When, Where
dan Why adalah 4W. How adalah 1H. Unsur dasar Who, What, When, Where bisa memberikan
informasi dasar. Unsur Why dan How bisa memberikan pemahaman. Lalu,
dikembangkan 1 unsur W lagi yakni ‘What
Effect’ yang memberikan kemampuan prediksi. Dengan 5W+1H+1W, pemahaman anak
jadi makin lengkap dan dalam.
Biasakan anak untuk akrab dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
Jika sering ditanyai demikian, anak akan mencoba mencari jawabannya di berbagai
lini. Sebaliknya, karena anak suka meniru, maka mereka juga akan sering
mengajukan pertanyaan-pertanyaan serupa. Maka, pertanyaan anak jadi makin
berbobot.
Contoh;
Ada apa?
Hujan.
Di mana? Di kebun.
Kapan? Kemarin?
Siapa yang suka hujan? Petani.
Mengapa petani suka hujan? Karena sawahnya bisa diairi.
Bagaimana cara
mengairinya? Air hujan ditampung di waduk lalu dialirkan di sawah.
Apa
dampaknya? Padi akan tumbuh subur.
Pertanyaan
dasar itu bisa dikembangkan sesuai keadaan. Bisa juga, misalnya, penekanan
diberikan pada unsur ‘siapa’ sehingga perlu ditanyakan beberapa kali. Bisa juga
unsur ‘mengapa’ yang ditekankan.
Selamat
mencoba.
“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)
No comments:
Post a Comment