Saturday, February 7, 2015

Mengapa Anak Tak Suka ke Perpus Baca Buku?



Photo; Bayu

Teguh Wahyu Utomo

Begini lho enaknya kalau bisa memanfaatkan media sosial untuk berdiskusi mencerahkan fikiran. Saya, pada 6 Oktober 2014 di Facebook, melontarkan pertanyaan tentang mengapa anak-anak tidak terlalu suka ke perpustakaan untuk membaca buku.

Diskusi itu berlangsung panjang, melibatkan anak, orang dewasa, guru, dosen, dan berbagai kalangan. Dari banyak gagasan yang muncul, saya mencoba merangkumnya menjadi dua kelompok besar. Semoga ini bisa menjawab masalah sepinya perpustakaan dari anak.

Pertama, suasana perpustakaan tidak terlalu akrab dengan anak-anak. Perpustakaan dirancang terlalu kaku dan serius, sementara anak-anak lebih suka yang santai dan ramai. Koleksi di perpustakaan juga kebanyakan buku cetak, padahal anak-anak juga suka video dan audio.

Gedung perpustakaan kebanyakan dirancang seperti ruang baca. Anak-anak pingin bicara ramai, eh tidak diperbolehkan. Kalau tiba-tiba lapar atau haus, anak-anak harus keluar dulu. Saat enegri kinestetik bergejolak, di perpustakaan tidak ada pelampiasan.

Perpustakaan lebih banyak berisi buku-buku bahkan yang berukuran tebal dan serius. Padahal, anak-anak juga mencari hiburan yang ringan dan imajinatif. Bukannya tidak mungkin anak-anak lebih mendekati layar komputer daripada buku cetak.

Kedua, kebiasaan baca belum tumbuh cukup pesat di kalangan anak-anak kita. “Kalau orangtuanya gak pernah baca buku, bagaimana anaknya bisa jadi suka baca?” begitu tulis teman saya pekerja perusahaan minyak di Sumatera Utara.

Teman lain, yang sedang studi doktoral di Bandung, menulis, “Budaya baca yang tidak dipopulerkan orangtua. CHILDREN LEARN MORE FROM WHAT YOU ARE THAN WHAT YOU TEACH! Awalnya anak-anak melihat orangtua baca; koran, majalah, atau buku. Saat orangtua perlu buku, anak diajak ke toko buku atau ke perpustakaan. Maka, lama-lama anak akan menduplikasi dan ikutan suka baca.”

Ada yang usul, “Coba kalau para orangtua punya perpustakaan kecil dan ruang baca di rumah. Dengan begitu, budaya membaca di kalangan anak sudah tertanam mulai dari rumah hingga sekolah. Bila anak mempunyai perpustakaan kecil di rumah, maka ia bisa menemukan kenikmatan membaca di perpustakaan lainnya.”

Saya lalu menyimpulkan (semoga tidak terlalu salah jika dibandingkan dengan kenyataan di lapangan); perlu desain-ulang perpustakaan agar ramah-anak dan perlu peningkatan budaya baca yang dicontohkan dari keluarga.

Teman saya yang baru pulang dari studi di Australia mengisahkan putrinya yang masih kecil kerasan di Indooroopilly State Library. Perpustakaan itu tempatnya nyaman dan banyak alat peraga plus banyak pilihan buku yang bisa dibaca. Anak bisa 'mangkal' di ruang multimedia, pojok diskusi, pojok prakarya, pojok bermain dan karpet ajaib sistem ‘touchscreen’. Gambar di karpet itu kalau diinjak/disentuh bisa bergerak dan berganti-ganti.

Contoh itu bagus. Namun, mungkin gedung atau ruang perpustakaan tidak harus secanggih itu jika dana pengelolaannya mepet. Yang penting adalah di dalam perpustakaan mengandung sesuatu yang menarik minat anak-anak. Jangan sampai ruang perpustakaan justru diletakkan di pojok paling belakang, lalu penerangannya suram, bukunya berdebu, dan petugasnya tidak pernah senyum.

Belajar itu sepanjang hidup. Belajar itu tidak hanya di lembaga pendidikan. Belajar itu pada siapa saja. Belajar itu menyenangkan.


Penulis adalah praktisi media, berbagi pengetahuan dan pengalaman di kampus, berbagi motivasi dan inspirasi pada umum; bisa dihubungi di 081332539032 atau cilukbha@gmail.com.

No comments:

Post a Comment